MANUSIA SEBAGAI PENATALAYAN DAN
PEMELIHARA CIPTAAN
(Eksegesis Kejadian 1:26-28)
I.
Pendahuluan
Kitab Kejadian merupakan kitab
permulaan dari seluruh Alkitab. Sebagai Kitab permulaan, maka Kitab ini
mencatat tentang awal mulanya segala sesuatu yang ada di bumi. Dalam bagian
pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, konteks Kejadian
dan konteks Alkitab.
A.
Latar Belakang Masalah
Untuk
memahami manusia sebagai penatalayan dan
pemelihara ciptaan, maka seyogianya perlu bertitik tolak dari satu presaposisi
bahwa manusia adalah diciptakan secara istimewa serta mendapat tempat yang
istimewa di antara ciptaan lain. Keistimewaan manusia sebagai ciptaan adalah,
ia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Sedangkan keistimewa manusia di
antara ciptaan lain adalah, ia diberi kuasa untuk menaklukkan dan memerintah
atas ciptaan lain.
Teks yang
secara tersurat memberi perintah kepada manusia supaya mereka berkuasa untuk
menaklukkan dan memerintah atas bumi melahirkan sifat egosentrisnya atas ciptaan lain. Manusia menganggap bahwa
ciptaan lain hanya diperuntukan bagi kepentingan manusia. Hal tersebut
dikarenakan terjadi kekeliruan dalam menginterpretasi terhadap teks Kejadian
1:26-28. Hal tersebut senada dengan yang dinyatakan oleh David Atkinson dalam
bukunya Seri pemahaman dan penerapan
amanat Alkitab masa kini, Kejadian 1-11 mengatakan; “ayat ini akan dinalar
salah bila kita menafsirkannya salah, seolah berarti bahwa segenap ciptaan lainnya
diciptakan melulu untuk kepentingan manusia. Selanjutnya David Atkinson
memberikan contoh di mana seorang ahli Amerika Lynn White yang menuduh agama
Kristen adalah agama paling antropis di dunia, dan dia berpendapat bahwa polusi
dalam dunia masa kini adalah akibat ajaran gereja tentang diberinya manusia
kekuasaan atas bumi.”[1]
Yang menjadi pertanyaan dari teks Kejadian 1:26-28 ini, apakah dengan
diberikannya kekuasaan kepada manusia untuk menaklukkan dan memerintah atas
bumi ini, menjadi dasar bagi manusia untuk mengeksploitasi bumi? Apakah
signifikansi dari kekuasaan untuk menaklukkan dan memerintah atas ciptaan lain?
Melalui bagian teks ini, makalah ini
ingin mengedepankan pesan-pesan dari sisi peran manusia sebagai ciptaan yang
mendapat tempat istimewa di antara ciptaan lain sebagai wakil Allah untuk
menatalayan dan memelihara ciptaan dari penulis kitab hingga masih relevan.
B.
Konteks Kejadian
Kejadian
pasal 1 menceritakan secara komprehensif bagaimana Allah menciptakan langit,
bumi dan segala isinya. Ayat 1 sampai ayat 25 memaparkan dengan jelas tentang
penciptaan. Tahap demi tahap proses penciptaan dilakukan secara sistematis dan
teratur. Setelah Allah selesai menciptaan langit, bumi dan segala isinya. Ia
melihat semuanya sangat baik. Selanjutnya Allah mengambil inisiatif menciptakan
manusia untuk menempati bumi yang telah diciptakan, sebagai ciptaan yang
terakhir. Penciptaan manusia merupakan puncak dari segala pencitaan, Gordon J.
Wenham menyatakan bahwa penciptaan manusia diperhitungkan klimaksnya.[2]
Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa bumi belum berbentuk. Secara implisit menyatakan
bahwa bumi dalam keadaan kacau-balau. Allah sendiri yang kemudian menatanya
sehingga menjadi teratur. Selanjutnya dalam Kejadian 2:15 Allah menempatkan
manusia dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Dengan
kata lain manusia diberi tugas untuk menatalayan dan memelihara apa yang ada di
taman Eden. Pemberian tugas tersebut terlihat secara nyata di mana manusia
memberi nama atas makhluk hidup (Kej. 2:19-20).
Walaupun
dalam perkembangan selanjutnya, di taman Eden manusia gagal dalam mentaati
Allah. Manusia memilih untuk lebih mendengarkan rayuan iblis. Di mana manusia
makan buah buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat yang
telah dilarang oleh Allah (Kej. 3:3-6). Akibatnya, Allah mengusir manusia dari
taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil (Kej. 3:23). Maka
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perintah Allah kepada manusia untuk
menatalayan dan memelihara ciptaan lain bukan hanya sebatas taman Eden, tetapi
meliputi seluruh bumi. Di mana manusia berada ditempatkan oleh Allah, maka
seyogianya manusia menatalayan dan memelihara ciptaan. Sebab tugas tersebut
telah diberikan oleh Allah kepada manusia ketika Ia menciptakan manusia, yaitu
sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.
C.
Konteks Alkitab
Dalam
Mazmur 8, Daud menyatakan kemuliaan dan keagungan Allah yang mengatasi seluruh
bumi dan langit. Pemazmur juga mengungkapkan, tatkala ia melihat langit buatan
Allah, bulan dan bintang yang ia tempatkan, lalu Daud menyadari dengan
bertanya; apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Dan siapakah manusia,
sehingga Engkau telah mengindahkannya? Allah yang mulia dan agung, sebagai
pencipta telah membuat manusia hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya
dengan kemuliaan dan kehormatan. Selanjutnya
pemazmur menyatakan, bahwa Allah membuat manusia berkuasa atas buatan
tangan-Nya. Segala ciptaanNya Allah letakkan di bawah kaki manusia. Dengan kata lain, penguaasan dunia diserahkan kepada
manusia sebagai ciptaanNya.
II. Eksegesis
Terjemahan:
26 Dan Allah berfirman, marilah kita menjadikan manusia di
dalam gambar kita seperti rupa
kita dan
mereka akan memerintah pada ikan laut itu dan pada unggas langit itu dan
pada
ternak pada
seluruh bumi itu dan pada seluruh yang melata binatang merayap atas bumi itu.
27 Dan Allah menciptakan manusia dalam gambar-Nya di dalam
gambar Allah Dia
menciptakan-nya laki-laki dan perempuan Dia menciptakan mereka.
28 Dan Allah
memberkati mereka dan Allah berfirman kepada mereka hendaklah mereka
berbuah/beranak cucu dan
hendaklah mereka banyak dan mereka memenuhi bumi itu dan
mereka menguasainya dan mereka
memerintah pada ikan laut itu dan pada unggas langit itu
dan pada seluruh binatang yang merayap atas bumi itu.
KJV
26 And God said, Let
us make man in our image, after our likeness: and let them have dominion
over the fish of
the sea, and over the fowl of the air, and over the cattle, and over all the
earth, and over
every creeping thing that creepeth upon the earth.
27 So God created man in his own image, in the image of God
created he him; male and female
created he them.
28 And God blessed them, and God said unto them, Be
fruitful, and multiply, and replenish the
earth, and subdue
it: and have dominion over the fish of the sea, and over the fowl of the air,
and over every
living thing that moveth upon the earth.
A.
Rencana penciptaan manusia
Berfirmanlah
Allah: “baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita.
Sebagaimana
dalam ayat-ayat sebelumnya mengenai penciptaan, ayat 26 memulai dengan kata “Berfirmanlah Allah.” Demikian juga dalam
Ayat 26, penulis Kejadian memulai dengan kata (wǎyyō'mér ’Ělōhîm). kata (wǎyyō'mér) merupakan kerja bentuk qal imperfek orang ketiga
maskulin tunggal, (berkata) yang didahului
oleh awalan penghubung (waw) ‘dan.’ Secara harafiahnya
kata (wǎyyō'mér): berarti ‘dan ia
berkata.’ Ia yang berkata adalah menunjuk kepada ’Ělōhîm (Allah). Frase dan Allah berfirman diikuti oleh kalimat yang menarik jika
dibandingkan dengan kalimat yang dipakai ketika Allah menciptakan ciptaan lain.
Dalam menciptakan langit, bumi dan isinya penulis Kejadian memakai ‘jadilah atau hendaklah…, maka ciptaan itu
jadi. Tetapi dalam ayat 26 Allah berfirman: baiklah kita menjadikan
manusia, nă‘ăśě(h) `ād'ām besălmēnû kĭd'mût"ēnû, Let us make man in our image, after our likeness
(KJV). Kalimat ini sangat menarik, jika dibandingkan dengan
ayat-ayat sebelumnya. Frase ‘baiklah kita menjadikan manusia.’ Kata yang dipakai untuk ‘menjadikan’
dalam bagian ini adalah (nă‘ăśě[h]), merupakan
kata kerja qal imperfek orang pertama jamak dari kata (‘āśā[h]) ‘membuat,
menjadikan.’ Istilah (nă‘ăśě[h]), secara harafiahnya berarti ‘kita
membuat, menjadikan. ditemukan
dalam PL 2600 kali. Istilah ini adalah umum, dan dipergunakan baik untuk
pekerjaan manusia maupun karya Allah (band. Kej. 1:31).[3]
Kalimat nă‘ăśě(h)`ād'ām secara harafiah diterjemahkan ‘marilah kita membuat manusia.’ Bentuk jamak “Kita” dalam bagian
ini mengundang banyak perhatian dari para penafsir, dengan tafsiran yang
beragam. Louis Berkhof menyebutkan beberapa pandangan para penafsir tentang
bagian ini di antaranya, ada yang menganggapnya sebagai bentuk jamak kemuliaan,
ada yang menganggapnya sebagai komunikasi jamak di mana Allah mengikutsertakan
para malaikat bersama dengan-Nya, sedangkan yang lain lagi menganggap bahwa
bentuk jamak tersebut merupakan pemuliaan diri sendiri.[4]
Salah seorang penafsif, D A Carson, ia menafsirkan bentuk jamak “Kita” dalam
teks ini adalah menunjuk kepada malaikat. Dalam bukunya New Bible Commentary Carson menyatakan; “Here god is pictured talking to the angles, the only allusion to other
supernatural beings in this chapter. This remark implies that man is like both
god and the angles.”[5]
Sementara penafsir
lainya, David Atkinson memberi kemungkinan bahwa barangkali bentuk jamak dalam
bagian ini menunjuk pada keagungan Dia yang berbicara itu.[6]
Ada yang menafsirkan bentuk jamak ‘kita’ ini sebagai “kemegahan yang jamak” yang menunjukkan martabat dan kebesaran.[7]
Anthony A. Hoekema dalam bukunya Manusia:
Ciptaan menurut gambar Allah menyatakan “kita harus menafsirkan bentuk
jamak ini mengindikasikan bahwa Allah tidak bereksistensi sebagai keberadaan
yang tersendiri, melainkan sebagai keberadaan yang memiliki persekutuan dengan
“yang lain.” Selanjutnya Hoekema menegaskan bahwa Allah bereksistensi sebagai satu
“pluralitas.”[8]
Meskipun bagi Hoekema dalam bagian ini kita tak bisa mengatakan memiliki ajaran
yang jelas mengenai Trinitas, melainkan hanya secara implisit tersirat.[9]
Hal yang sama juga yang ditegaskan oleh Louis Berkhof dalam bukunya ‘Teologi
Sistematika 2 Doktrin Manusia. Berkhof menjelaskan, bentuk jamak ‘Kita’ memang
tidak dapat dipahami secara literal menujuk kepada Trinitas, tetapi secara
implisit bentuk jamak tersebut seyogianya dipakai untuk menunjuk pada suatu
kenyataan ketritunggalan Allah.[10]
Hal yang serupa juga ditegaskan oleh Charles F. Pfeiffer dan Everett F.
Harrison dalam Commetary Alkitab Wycliffe
bahwa Narasi ini menggambarkan Allah sebagai meminta dewan surgawi atas kedua
anggota Tritunggal lainnya untuk memusatkan perhatian mereka pada peristiwa
penciptaan manusia.[11]
Selanjutnya ia menegaskan, bentuk jamak dari kata yang dipakai untuk Allah, di
mana Tuhan ditampilkan sebagai memberikan pertimbangan yang luar biasa terhadap
sesuatu soal yang sangat penting,[12]
sebab penciptaan manusia itu sendiri didahului oleh suatu pertimbangan yang
agung.[13]
Bertitik tolak dari beberapa penafsiran yang ada tersebut
adalah tidak mungkin untuk memilih tafsiran yang menunjuk bahwa Allah berbicara
kepada para malaikat dalam merencanakan penciptaan manusia. Sebab Allah tidak
pernah meminta masukan dari malaikat dalam menciptakan manusia (band. Yes. 40:41). Secara status malaikatpun sebagai ciptaan
Allah. Selanjutnya manusia bukan dijadikan menurut gambar malaikat (band. Kej.
3:22). Bagi penulis, sulit untuk menafsirkan bentuk jamak ‘Kita’ yang ada dalam
teks ini secara literal. Tetapi perlu memperhatikan konteks penciptaan secara
keseluruhan dalam terang Alkitab (PL dan PB). Dalam Kejadian 1:2, Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air, selanjutnya dalam memulai penciptaan Ia
memakai Firman. Rasul Paulus juga menuliskan dalam Kolose 1:16 “karena di dalam Dialah telah diciptakan
segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang
tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun
penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Dengan melihat
konteks tersebut, maka penulis menafsirkan bentuk jamak ‘Kita’ adalah menunjuk
kepada aktivitas Allah Tritunggal dalam penciptaan. Seperti yang ditegaskan oleh
Hoekema “apa yang dinyatakan secara tidak langsung di sini akan dikembangkan
lebih lanjut dalam Perjanjian Baru menjadi doktrin Trinitas.”[14]
Selanjutnya kata yang dipakai untuk
manusia adalah ('ād'ām) merupakan kata benda maskulin
tunggal absolutus ‘man, mankind, people.’
Penggunaan kata ('ād'ām) memiliki beberapa pengertian, di antaranya; dipakai
sebagai nama diri, Adam (band. Kej.
5:1 “Inilah daftar keturunan Adam”), memiliki arti manusia pada umumnya, baik
itu laki-laki atau perempuan atau
laki-laki dan perempuan, serta
dipakai untuk menunjuk kepada umat
manusia (band. Kej. 6:5). Dalam teks ini, kata ('ād'ām) dapat diartikan menunjuk
kepada manusia sebagai laki-laki dan perempuan di mana mereka juga dapat
disebut umat manusia. Pengertian yang
sama juga dinyatakan John H. Sailhamer;
the creation of humanity is specifically noted to be a
creation of “male and female.” The
author has not considered gender to an
important feature to stress in his account of the creation of the other forms
of life, but for humankind it is of some importance. Thus the narrative
stresses that God created humankind as
“male and female.”[15]
Gordon J. Wenham menyatakan; Adam, the first man created and named, is representative of humanity.[16]
Kata
berikut yang perlu diperhatikan adalah: ‘menurut gambar dan rupa kita.’ Kedua
kata ini akan di bahas dalam bagian berikutnya, yaitu pada bagian pelaksanaan
penciptaan manusia.
B.
Tujuan penciptaan manusia
“Supaya mereka berkuasa atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”
Setelah Allah mengumumkan rencanaNya
untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Kini Allah menentukan,
apa yang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia atau mengapa Allah
menciptakan manusia. Ayat 6b memulai dengan kata; “Supaya
mereka berkuasa…” (LAI TB), supaya
diperintahkannya (LAI TL), and let them have dominion (KJV), and let them rule (NAS, NIV). Kata yang dipergunakan untuk
‘berkuasa’ dalam teks ini adalah (weyĭrdû ). Merupakan
kata kerja qal imperfek orang ketiga maskulin jamak dari kata (rād'āh) yang artinya ‘tread, rule,
govern, to scrape out’ (menguasai, memerintah). Kata (weyĭrdû) didahului oleh kata penghubung (waw), maka secara harafiah kata weyĭrdû dapat diterjemahkan ‘dan mereka akan memerintah.’ LAI versi
terjemahan lama menerjemahkan ‘supaya diperintahkannya.’ Walaupun secara gramatika kata rād'āh didahului oleh kata penghubung waw yang berarti ‘dan’, tetapi
karena kata kerja yang dipakai adalah bentuk imperfek, yang dalam pemakaiannya
dapat dipergunakan untuk menyatakan pekerjaan yang hendak dilakukan. Sehingga
dalam penerjemahannya kata kerja imperfek sering diterjemahkan dengan
menambahkan keterangan seperti ‘akan’, ‘hendak’, ‘kiranya’ dan sebagainya.[17]
Dari bentuk imperfek dan awalan penghubung yang dikenakan
pada kata kerja (weyĭrdû) maka dapat dipahami bahwa arti kata kerja
tersebut tentunya menunjuk kepada harapan yang sekaligus mengandung suatu makna
tujuan. Sehingga kata (weyĭrdû) yang diterjemahkan ‘dan mereka akan memerintah’ merupakan harapan Allah sebagai
Sang Pencipta manusia, agar manusia yang diciptakan-Nya dalam gambar menurut
rupa-Nya akan memerintah atas seluruh ciptaan lain. D A Carson menyatakan; “Di sini Kejadian menegaskan tujuan dan tempat umat
manusia di dalam rencana Allah.”[18] Alkitab memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai
tujuan penciptaan manusia. Hal ini berbeda dengan tradisi-tradisi yang ada,
salah satunya adalah tradisi Babel. Menurut tradisi Babel, manusia diciptakan
supaya para dewa bebas dari beban pekerjaan sehari-hari. Manusia diciptakan
untuk menjadi pelayan dewa-dewa termasuk menyediakan makanan bagi mereka.[19]
Namun, dalam Alkitab digambarkan manusia sebagai mahkota penciptaan. Ini
berarti bukan manusia yang menyediakan makanan bagi Allah, tetapi sebaliknya, Allah
yang menyediakan tumbuh-tumbuhan sebagai makanan bagi manusia (band. Kej. 1:29).
Dan bahkan dikatakan “Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi
makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga
tumbuh-tumbuhan hijau. Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah
kamu makan.” (Kej. 9:3-4).
Apa yang telah Allah sediakan bagi manusia, kini ada
dalam kekuasaannya di mana manusia akan memerintah atasnya. Inilah tujuan
penciptaan manusia atas ciptaan lainnya. Jadi, dalam bagian ini memberikan indikasi yang secara
gamblang dan jelas, mengenai tujuan Allah menciptakan manusia. Di mana secara
eksplisit tujuan manusia diciptakan adalah untuk memerintah atas ciptaan yang
lain, yang meliputi; pada ikan di laut dan pada
unggas di langit dan pada
ternak pada seluruh bumi dan pada seluruh yang melata binatang merayap atas
bumi.
Sebagai
wujud dari gambar rupa Allah sehingga manusia diberi kuasa untuk memerintah
atas bumi. Menurut Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison dalam
Commetary Alkitab Wycliffe menjelaskan bahwa manusia harus menjadi wakil dan
penatalayan Allah yang bertanggung jawab di bumi untuk melaksanakan semua
kehendak Allah dan menggenapi maksud Sang Khalik.[20] Maka, memerintah
dalam bagian ini hanya dapat dipahami dalam konteks manusia sebagai gambar rupa
Allah. D A Carson menegaskan; “ini berarti manusia, baik laki-laki dan
perempuan, mereka adalah wakil Allah di bumi.”[21]
Dengan demikian Allah menyerahkan seluruh ciptaan lain kepada manusia. “Akan takut dan akan gentar kepadamu segala
binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi
dan segala ikan di laut; ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan.” (Kej.
9:2)
C.
Penciptaan manusia
Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka.
Ayat 27
ini merupakan ayat yang sangat menarik jika memperhatikan teks aslinya. Ayat yang berbunyi “wǎyyivrā' ’Ělōhîm 'ét"-hā'ād'ām besǎlmô besělěm 'Ělōhîm bārā' 'ōtô zāk'ār ûneqēvā(h) bārā' 'ōtām,” LAI menerjemahkan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka.” KJV, NAS, So God created man in his
own image, in the image of God created he him; male and female created he them.
Jika diterjemahkan ke dalam terjemahan harafiahnya, ayat ini
terdiri atas kombinasi tujuh kata inti. Merurut Yonky Karman, tujuh kata inti
yang dikombinasi tersebut adalah; “menciptakan,
Allah, manusia menurut gambar, lelaki, perempuan, dia/mereka.” Ketujuh kata
inti tersebut tersebar dalam tiga baris yang masing-masing terdiri lagi atas
empat kata.[22]
Ketiga baris tersebut dapat dibagi sebagai berikut :
Dan
Allah menciptakan manusia dalam gambarnya
Dalam
gambar Allah diciptakan-Nya dia:
Laki-laki
dan perempuan diciptakan-Nya mereka
Gordon J.
Wenham menyebutkan tiga kalimat pendek tersebut dengan ketiga anak kalimat, yang ada dalam keterangan tambahan. Dan dalam
ayat 27 ini mencatat aspek yang sangat penting mengenai keberadaan manusia yang
di catat khusus dalam tiga kalimat singkat sebagai pelaksanaaan dari ketetapan Sang
Ilahi yang terdapat dalam ayat 26.[23]
Ayat 27, mulai dengan frase “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya”. Kata (wǎyyivrā' ) dari kata ‘to create, shape’ (menciptakan, membuat). wǎyyivrā' adalah kata kerja qal imperfek orang ketiga maskulin
tunggal yang diawali oleh kata penghubung (waw).
Secara harafiah wǎyyivrā' berarti ‘dan Dia menciptakan.’ Dia yang dimaksud
adalah menunjuk kepada 'Ělōhîm. Kata kerja bārā' muncul di seluruh PL sebanyak 49 kali, dengan
subjek selalu Allah. Tentang kata bārā' Yonky Karman dalam bukunya Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, menyatakan; “Dalam konteks penciptaan akar kata kerja bārā' tidak
begitu saja mendukung doktrin dari
yang tidak ada menjadi ada, tetapi yang hendak ditegaskan adalah unsur
kebaruan dari tindakkan Tuhan dan hanya Yang Mahakuasa saja dapat menghasilkan
kebaruan seperti itu. Tindakan Allah dalam menciptakan ini benar-benar unik
tanpa bandingan.”[24]
Kata kerja
bārā' sangat
khas dalam Perjanjian Lama. Di dalam bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa
Ibrani istilah ini tidak ditemukan, melainkan hanya istilah yang lebih umum
artinya seperti banu (mendirikan)
dalam bahasa Akkad (Mesopotamia). Sedangkan dalam bahasa Ibrani sendiri istilah
bārā' hanya dipakai mengenai karya Allah, untuk
menyatakan keunggulan penciptaanNya dibanding dengan hasil karya manusia. Allah
dapat menciptakan (bārā') sesuatu yang sama sekali
baru, sedangkan manusia hanya mampu membuat (āśā) sesuatu
dari bahan yang sudah diciptakan Allah.[25]
Kata berikut yang perlu untuk diperhatikan adalah
‘menurut gambar-Nya.’ Sebelum membahas kata ‘menurut gambar-Nya’ dalam ayat 27
ini, penulis terlebih dahulu akan membahas kata ‘menurut gambar dan rupanya’
yang terdapat dalam ayat 26. Kata yang dipakai untuk gambar dalam ayat 26
adalah (besălmēnû) dari (sělěm) ‘image’. Yaitu kata benda
maskulin tunggal konstruktus dengan kata depan dan suffix orang pertama jamak. Secara harafiah (besălmēnû) adalah ‘di dalam
gambar kita’ LAI terjemahan lama menerjemahkan
‘atas peta.’ KJV,
NAS, NIV menerjemahkan ‘in Our image.’ Sedangkan kata
yang dipakai ‘rupa kita’ adalah (kĭd'mûtēnû). Merupakan kata benda feminim tunggal
konstruktus dari kata (demût") artinya ‘pattern, form, shape, something like’ yang mendapatkan penambahan kata
depan ‘seperti, menurut’ dan suffix orang pertama jamak ‘kita.’ Secara
harafiahnya (kĭd'mûtēnû) ‘menurut bentuk kita.’ LAI
terjemahan lama menerjemahkannya ‘atas teladan kita.’ Dengan demikian frase (besălmēnû kĭd'mûtēnû) yang diterjemahkan
oleh LAI terjemahan
baru “menurut gambar dan rupanya. LAI terjemahan lama menerjemahkan “atas peta
dan atas teladan kita.” Beberapa versi lain
seperti KJV menerjemahkan in our image, after our likeness, NAS
menerjemahkan in Our image, according to Our likeness, NIV
menerjemahkan in our image, in our likeness.” Secara harafiah frase besălmēnû
kĭd'mûtēnû dalam ayat 26 dapat diterjemahkan
‘di dalam gambar kita menurut rupa kita.’ Di dalam teks aslinya (Bahasa Ibrani)
tidak terdapat kata penghubung atau kata sambung ‘dan’ di antara kedua kata tersebut seperti yang terdapat dalam
terjemahan LAI. Hal yang sama ditegaskan oleh Anthony A. Hoekema, baik
Septuaginta[26]
maupun Vulgata[27]
memasukan kata dan.[28]
Berdasarkan teks aslinya, kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang
esensial di antara keduanya, sebab tidak terdapat kata penghubung yang di
antara kedua kata tersebut. Dengan
penambahan kata penghubung dan, sehingga
memberi kesan bahwa ‘gambar’ dan ‘rupa’ mengacu kepada dua hal yang berbeda.
Anthony A. Hoekema menegaskan, kata ‘menurut gambar Kita’ hanyalah suatu cara
lain untuk mengatakan ‘menurut rupa Kita.’[29]
Dalam ayat 27, kata yang dipakai ‘menurut gambar-Nya’
adalah (besǎlmô) sama dengan bentuk kata gambar yang dipakai dalam ayat
26. Tetapi dalam ayat 27 mendapatkan
suffix orang ketiga maskulin tunggal. Secara harafiahnya kata ini
diterjemahkan ‘di dalam gambar-Nya.’ LAI TB menerjemahkan ‘menurut gambar-Nya. LAI TL menerjemahkan kata besǎlmô ‘atas petanya.’ Oleh
beberapa versi seperti KJV, NAS,
NIV diterjemahkan in his own image. Pemakaian kata gambar maupun rupa
dalam Alkitab terkadang dipakai secara bersama-sama dan terkadang dipakai salah
satunya. Misalnya dalam Kejadian 5:1, menyebutkan “Pada waktu manusia itu
diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah.” Kata (demût") dikenakan untuk rupa dalam Kejadian 5:1 ini. Sedangkan dalam Kejadian 9:6, disebutkan “sebab Allah membuat manusia itu
menurut gambar-Nya sendiri.” Dalam bagian ini pun kata ‘menurut gambar-Nya’ memakai kata (sělěm) ‘image.’ Sementara dalam Kejadian 5:3, ketika
Adam memperanakkan seorang anak laki-laki baginya, anak Adam disebutkan sebagai
menurut rupa dan gambar dari Adam. Dan kata dasar yang dipakai
untuk menunjuk kepada rupa dan gambar dari Adam adalah (demût) dan (sělěm). Dalam hal ini, kedua kata dipakai dengan urutan yang berbeda. Jadi
jelas bahwa, baik ‘gambar’ maupun ‘rupa’ dapat dipakai secara bersama-sama dan
dapat dipakai secara terpisah atau bergantian. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa, baik ‘gambar’ maupun ‘rupa’ biasa dipakai secara sinonim,[30]
dengan kata lain tidak ada perbedaan yang esensial.
Frase, manusia diciptakan menurut gambar Allah menarik banyak perhatian dari para penafsir. Di satu sisi ada
penafsir yang mengartikan “gambar” itu secara jasmani, di mana bagi penafsir ini menunjuk kepada sikap berdiri
manusia yang tegak lurus, bertentangan dengan binatang-binatang, dan yang menganggap ini sebagai keistimewaan
yang membedakan manusia dari makhluk lain.[31] Selanjutnya
ada orang yang berspekulasi bahwa ‘gambar
Allah’ adalah
kemiripan manusia dengan Penciptanya dan kemiripan itu terletak pada
karakteristik manusia yang membedakannya dari hewan seperti rasio, kekekalan
dan konsepnya, perasaan moral, dan seterusnya.”[32]
Hal yang sama juga disampaikan oleh William A. Dyrness dengan mengatakan;
“Dahulu para teolog menekankan pada kemampuan rasional dan rohani manusia
sebagai arti dari gambar Allah.” Tetapi bagi Dyrness, gambar Allah
berarti manusia diciptakan untuk mencerminkan Allah.[33]
Apa yang dikatakan oleh Dyrness di mana manusia mencerminkan Allah, senada
dengan interpretasi D A Carson. Carson menyatakan; God says man is to be made in our image, in our likeness. This means that
mankind, both male and female, is God representative on earth.[34] Ini berarti bahwa manusia, laki-laki dan perempuan sebagai representasi atau wakil Allah di bumi. Sementara Karl Barth, seperti yang
dinyatakan oleh David Atkinson, bahwa “gambar Allah” sebagai pengertian
“laki-laki dan perempuan” yang saling melengkapi.[35] Ada
pula yang bertolak belakang dengan pandangan Karl Barth. Seorang teolog PL
seperti Eichrodt yang dikutip oleh Yonky Karman dengan mengartikan bahwa gambar Allah terletak pada kesadaran diri dan kemampuannya untuk
menentukan diri.[36]
Selanjutnya ada beberapa penafsir yang
menafsirkan “gambar” menujuk kepada manusia sebagai rekan-Nya, dan bahwa
manusia dapat hidup bersama dengan Allah. Ini berarti
menunjuk kepada suatu hubungan manusia dengan Allah. Misalnya, Yune Sun Park,
menjelaskan; “Allah menciptakan manusia ‘menurut
gambar dan rupa’-Nya, supaya manusia dapat mengenal Allah. Hubungan di
antara manusia dan Allah berbeda dengan hewan-hewan yang lain. Park menegaskan,
‘gambar dan rupa’ Allah berarti
manusia diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang
sesungguhnya (Ef. 4:24).”[37] Menurut Westermann, “Manusia
diciptakan sedemikian rupa sehingga keberadaannya adalah hubungannya dengan
Allah.” Menurut pandangan ini, “gambar Allah” bukan sesuatu yang dimiliki
manusia, atau sesuatu kemampuan untuk menjadi atau berbuat sesuatu, melainkan
suatu hubungan.[38]
Davit Atkinson menafsirkan ‘gambar Allah’ ialah “hubungan dalam mana Allah
menempatkan diriNya terhadap manusia, suatu hubungan dalam mana manusia menjadi
mitra kerja, wakil dan kemuliaan Allah di atas bumi.”[39]
Dengan melihat beragam penafsiran
yang ada, maka sulit untuk menentukan arti gambar Allah yang sesungguhnya.
Sebab bagaimanapun, manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik
dan eksplisit di dalam kisah penciptaan. Oleh sebab itu untuk menemukan arti
dan makna gambar Allah perlu memperhatikan apa kata teks dengan akar kata yang
diturunkan dan juga konteks. Kata Ibrani untuk gambar adalah (sělěm). Kata sělěm ini
diturunkan dari akar kata yang memiliki makna “mengukir” atau “memotong.”[40]
Tentang pemakaian kata sělěm ini,
menurut Hoekema, “kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk
binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia di dalam
Kejadian 1, kata sělěm ini
mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah. Artinya manusia merupakan
suatu representasi Allah.”[41] Dalam
konteks sosial Timur Dekat kuno (sělěm) ‘gambar’ biasa dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili
kehadiran seorang penguasa. Ketika seorang raja menguasai wilayah di luar
kerajaannya, kehadirannya secara fisik di wilayah itu biasa diwakili dengan sělěm berupa patung dirinya yang ditaruh
di daerah itu. Patung itu bukan raja sebenarnya, melainkan biasa dipandang
sebagai representasi kehadirannya di suatu wilayah.[42]
Berdasarkan analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah secara negatif
menyangkal manusia sama dengan Allah. Akan tetapi manusia adalah gambar Allah,
namun manusia bukanlah Allah.
Sedangkan kata Ibrani untuk rupa, (demût) di dalam Kejadian 1 memiliki makna “menyerupai.”[43]
Maka dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kata demût" di dalam Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan
keserupaan.[44]
Dengan kata lain ‘menurut gambar dan rupa’ dapat dikatakan ‘gambar yang
menyerupai.’ Dengan kedua kata tersebut baik sělěm maupun demût, memberitahukan bahwa manusia
sebagai ciptaan yang dicipta di dalam gambar menurut rupa Allah adalah
merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia.[45]
Dengan memperhatikan konteks yang ada, maka manusia sebagai gambar rupa Allah
bersifat fungsional.[46] Di
mana manusia diberi kuasa untuk memerintah atas ciptaan lain. Hoekema menyatakan, bagaimana manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan
secara spesifik dan eksplisit di dalam kisah penciptaan. Tetapi dapat dilihat
keserupaan-keserupaan tertentu dengan Allah yang terimplikasikan dalam bagian teks Kejadian ini.[47]
Lebih lanjut Hoekema menarik suatu kesimpulan mengenai keserupaan-keserupaan
yang terimplikasi dalam Kejadian 1:26-28 dengan menyebutkan; kekuasaan atas
binatang dan atas seluruh bumi merupakan aspek dari gambar Allah. Selanjutnya
ia berpedapat, di dalam menjalankan kekuasaan
ini manusia menjadi serupa dengan Allah, karena Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan ultimat atas bumi.[48] Ini berarti otoritas (kuasa) manusia atas ciptaan-ciptaan lain menunjuk
kepada manusia sebagai rupa Allah. Selanjutnya
Hoekema menyebutkan aspek lain dari gambar Allah menyangkut perihal penciptaan
manusia sebagai laki-laki dan perempuan.[49] Dari
aspek gambar ini, Hoekema menyebutkan keserupaan dengan Allah dalam hal ini
ditemukan di dalam perbedaan fisik antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan. Dalam hal ini laki-laki memerlukan
pendamping, yaitu perempuan dan mereka saling melengkapi satu dengan yang lain.[50] Ini
berarti manusia memiliki hubungan
persekutuan dengan sesamanya. Hal ini juga nampak dalam manusia sebagai mahkluk sosial yang Allah
ciptakan dalam diri laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini manusia mencerminkan
Allah yang bereksistensi, bukan sebagai keberadaan yang terasing. Bahkan berada di dalam suatu relasi dengan dengan Allah.
Manusia yang diciptakan dalam gambar menurut rupa Allah tidak hanya disebutkan dalam
Perjanjian Lama, tetapi dalam Perjanjian Baru juga menyebutkan bahwa manusia
diciptakan menurut rupa Allah.
Seperti yang terlihat dalam Yakobus 3:9 menyebutkan “Dengan lidah
kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang
diciptakan menurut rupa Allah.” Kata
Yunani yang dipakai untuk rupa dalam
Yakobus 3:9 adalah (homoiōsin) sebagai kata benda akusatif feminim tunggal dari (homoiōsis) yang berarti ‘likeness.’ Dalam
Septuaginta kata yang dipakai untuk gambar
adalah (eikona) yaitu kata benda akusatif
feminim tunggal dari (eikōn) yang artinya ‘image.’ Sedangkan
kata rupa yang dipakai dalam
Septuaginta adalah (homoiōsin) sebagai kata benda akusatif feminim tunggal dari (homoiōsis) yang berarti ‘likeness.’
Pemakaian kata ‘gambar’
maupun ‘rupa’ tidak hanya
dikenakan kepada manusia. Dalam Perjanjian Baru, penggunaan kata ‘gambar’
juga dipakai untuk menunjuk kepada pribadi Kristus. Kristus sebagai gambar Allah yang
nyata, seperti dalam beberapa tulisan Rasul Paulus. “Dia-lah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15).
Selanjutnya dalam 2 Korintus 4:4, “kemuliaan
Kristus, yang adalah gambar Allah.”
Kata Yunani yang dipakai untuk gambar dalam Kolose 1:15 dan 2 Korintus 4:4,
adalah (eikōn), yang setara dengan
kata Ibrani sělěm. Demikian juga penulis surat Ibrani, “Ia adalah cahaya
kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr. 1:3). Dalam
Ibrani 1:3, kata Yunani yang diterjemahkan menjadi ‘gambar wujud’
adalah (charaktēr), artinya express image, exact representation, repoduction. Menurut W.E. Vine, kata ini bermakna “cap atau
cetakan, seperti pada sebuah koin atau meterai, di mana meterai yang di cap
menyandang gambar yang dihasilkan oleh cap itu. Sebaliknya, semua aspek dari
gambar yang dihasilkan tersebut, persis sama dengan aspek-aspek yang ada pada
sarana yang menghasilkannya.”[51]
Analoginya adalah seperti dengan melihat sebuah koin, seseorang bisa mengetahui
secara tepat cetakan asli yang menghasilkan gambar pada koin itu, demikian juga
dengan melihat Anak, orang bisa mengetahui Allah secara tepat. Anthony A.
Hoekema menyebutkan “sulit membayangkan gambaran lain yang lebih kuat untuk
menyampaikan pemikiran bahwa Kristus adalah reproduksi yang sempurna dari Bapa.
Setiap sifat, setiap karakteristik, setiap kualitas yang terdapat di dalam Bapa
juga terdapat di dalam Anak, yang merupakan gambar
wujud Bapa.”[52]
D.
Mandat Allah atas manusia
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Setelah
Allah menciptakan manusia menurut gambar rupa-Nya, kini Allah memberkati serta
memberi mandat kepada manusia. Ayat 28 LAI TB memulai dengan “Allah memberkati
mereka.” Kata kerja yang dipakai untuk memberkati adalah (wǎyvārēkh) yaitu kata
kerja bentuk piel imperfek tiga maskulin tunggal. Terdiri dari kata penghubung
dari kata dasar (bārǎkh) yang artinya to kneel, bless, (memberkati). Secara harafiah wǎyvārēkh diterjemahkan ‘dan dia telah memberkati.’ Dia sebagai bentuk ketiga menunjuk
kepada ’Ělōhîm (Allah). Kata berikutnya adalah partikel ('ōtām) dengan suffix orang ketiga maskulin jamak yaitu ‘mereka.’ Menurut versi KJV
dan NAS suffix orang ketiga ‘mereka’ disini menujuk kepada (rāvāh). Dengan demikian dapat
diterjemahkan ‘dan Allah telah memberkati mereka.’ Frase berikut adalah "Beranakcuculah
dan bertambah banyak; penuhilah bumi. Kata yang
dipakai untuk ‘beranakcuculah’ adalah (perû) yaitu kata kerja qal imperatif maskulin jamak dari (pārāh) yang artinya bear fruit, be fruitfull. Kata berikut adalah (ûrevû) dari kata (rāvāh) dengan kata penghubung yaitu kata kerja qal imperatif
maskulin jamak, artinya dan bertambah
banyak. Kata ‘penuhilah’ memakai (ûmil'û) sebagai kata kerja qal imperatif maskulin jamak, dengan kata penghubung waw yang berarti ‘dan penuhilah’ bumi. Berkat Allah atas
manusia “beranakcuculah dan bertambah
banyaklah” adalah seperti yang dinyatakan atas ciptaan lain
(binatang-binatang) dalam ayat 22. Baik binatang-binatang maupun manusia,
mereka akan berkembang biak dan bertambah banyak. Namun di dalam ayat 22
binatang-binatang hanya diberi perintah, tetapi dalam ayat 28 menambahkan “dan Allah berkata kepada mereka” sebagai
sesuatu perhatian yang melukiskan hubungan pribadi antara Allah dan manusia.
Selanjutnnya, Tuhan memberitahu
kepada manusia ‘taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi’. Kata ‘taklukanlah itu’ menggunakan (wekivšŭhā) dari kata (kāvǎsh) dengan kata penghubung waw, dan suffix orang ketiga feminim tunggal. (wekivšŭhā) merupakan kata kerja qal imperatif
maskulin jamak. Secara harafiahnya berarti ‘make
subservient’ (membuat tunduk).
Bentuk imperatif hanya dipakai untuk mengungkapkan perintah-perintah, maka kata
(wekivšŭhā) diartikan ‘dan buatlah tunduk dia’ atau ‘dan
tundukkanlah dia. LAI TB menerjemahkan ‘taklukkanlah bumi, LAI TL
menerjemahkan ‘taklukkanlah dia, and
subdue it’ (KJV, NAS, NIV). Suffik orang ketiga tunggal ‘dia’ menunjuk kepada 'ět"-hā'ārěs.̣
Pemakaian kata (kāvǎsh) terdapat dalam beberapa teks lain
yang memiliki arti yang sangat keras. Misalnya, dalam Ester 7:8 dan Yeremia 34:16,
kata kāvǎsh memiliki pengertian menundukkan dengan
paksa seperti dalam pemerkosaan. Kata kāvǎsh yang mengandung
arti menundukkan dalam kedua teks ini (Est. 7:8 dan Yer. 34:16) tidak dapat
menjadi acuan untuk menunjuk kepada suatu tindakkan manusia dalam ‘memaksa’
ciptaan-ciptaan lain agar takluk di bawah kekuasaannya. Sebab dalam kedua
konteks yang ada dalam Ester dan Yeremia memberikan gambaran akan tindakkan
manusia yang tidak mengindahkan ketentuan Allah. Dalam Ester 7:8, Raja
Ahasyweros telah mabuk oleh anggur, demikian juga Haman besujud memohon kepada
Ester bersikap seperti memaksa agar ia tidak dihukum. Dalam konteks Yeremia
34:16, Allah telah mengikat perjanjian dengan bangsa Israel, di mana mereka
diharuskan membebaskan budak yang telah menjual diri kepada mereka. Sebaliknya
mereka berbalik dari ketetapan Tuhan. Mereka tidak membebaskan budak tetapi
justru menundukkan supaya budak tersebut tetap dalam kekuasaan mereka. Ini
berarti ada ambisi manusia yaitu mereka yang telah membeli budak tersebut untuk
tetap memperbudak mereka yang telah dibelinya. Tidak demikian dengan pemakaian
kata (kāvǎsh) dalam
konteks Kejadian 1:28. Salah satu dari pengertian kata (kāvǎsh) “menundukkan” dalam konteks penciptaan
dapat juga memiliki suatu pengertian di mana manusia diperintahkan oleh Sang
Pencipta untuk memenuhi bumi dengan berkembang biak dan terus bertambah banyak.
Yonky Karman menegaskan hal ini; “manusia ditempatkan di bumi untuk menunjukkan
kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan menunundukkannya.[53]
Selanjutnya kata yang dipakai untuk
‘berkuasalah’ adalah (ûred'û) yaitu kata kerja
qal imperatif maskulin jamak dari kata (rādāh) artinya ‘to rule,’ dengan kata penghubung waw Maka secara harafiah kata ûred'û diterjemahkan dan memerintahlah. LAI TB menerjemahkan berkuasalah, LAI TL
perintahkanlah, KJV menerjemahkan and have dominion, NAS dan NIV mengartikan
and rule. Penggunaan kata (rādāh) dalam Yoel 3:13 memiliki pengertian
menginjak-injak seperti ketika memeras anggur. Dari
pengertian tersebut maka dalam Yoel 3:13 pemakaian kata (rādāh) memiliki makna yang radikal. Makna yang radikal tersebut akan dapat
dipahami karena dalam konteks Yoel 3:13, kata (rādāh) dipakai kepada suatu cara mengerjakan buah anggur untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Dari akar kata tersebut terkandung suatu makna yang mendalam, di
mana manusia berkuasa untuk memerintah atas ciptaan-ciptaan yang lain untuk
tujuan kebaikan, yaitu kemuliaan Allah. Penjelasan mengenai kata (rādāh) ‘memerintah’ telah disinggung juga di dalam bagian
sebelumnya, yaitu pada bagian B (Tujuan penciptaan manusia). Walaupun
penggunaan kedua kata kerja baik kāvǎsh maupun rādāh dipakai dalam konteks yang lain memiliki arti yang
keras, namun Yonky Karman menyatakan; “menguasai alam dalam konteks Alkitab
pada waktu itu adalah harmoni dengan alam sebelum kejatuhan dan belum ada unsur
keserakahan manusia untuk menguras alam.” Lebih lanjut Karman menegaskan,
“maka, kerasnya pengertian kata kāvǎsh dan rād'āh tidak perlu dikhawatirkan menjadikan pembenaran segala
bentuk eksploitasi alam.”[54]
Baik kata rādāh maupun ûred'û kedunya adalah kata kerja qal
imperatif. Oleh karena kedua kata tersebut sama-sama bentuk imperatif, maka
keduanya mengungkapkan perintah Allah kepada manusia. Ketika Allah memberikan mandat kepada manusia dengan berkata ‘taklukkanlah
dan berkuasalah’ atau harafiahnya ‘tundukkanlah dan memerintahlah’ dalam ayat 28 ini artinya bahwa kuasa dan kemampuan untuk memerintah tersebut diberikan kepada manusia. Yaitu kepada manusia secara umum laki-laki dan perempuan sebagai ciptaan yang diciptakan
dalam gambar menurut rupa Allah. Seperti yang
ditegaskan oleh David Atkinson dengan melihat
ini dalam rangka kedudukan selaku manusia yang diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah, yaitu selaku wakil Allah di atas bumi.”[55] Pasal
2 menggambarkan
bagaimana manusia sebagai pengelola yang memelihara dan melindungi
Taman Allah. Jadi kekuasaan diberikan kepada manusia sebagai yang mewakili
Allah yang bertugas memelihara ciptaan Pencipta-nya. Kekuasaan itu bukan
keleluasaan seorang lalim mengeksploitasi bumi, melainkan penatalayanan seorang
pengelola yang bertanggung jawab, yang mengakui bahwa segala sesuatu memperoleh
keberadaannya dari tangan Allah dan yang ingin membantu agar segala sesuatu
berkembang sebagaimana mestinya menurut kehendak Allah.
III Kesimpulan dan Implikasi Bagi Orang Percaya Masa Kini
A.
Kesimpulan
Penciptaan manusia adalah penciptaan yang sangat
istimewa. Dikatakan istimewa karena penciptaan manusia adalah puncak atau
klimaks dari segala penciptaan yang Allah lakukan. Allah menciptakan manusia
paling akhir dengan maksud yang khusus, sebab segala mahkluk dan lingkungannya
disediakan terlebih dahulu bagi manusia. Allah yang menciptakan manusia adalah
Allah yang bereksistensi. Oleh sebab itu dalam menciptakan manusia Allah
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang khusus dan agung. Berbeda dengan pada
waktu Allah menciptakan ciptaan-ciptaan lain yang hanya dengan berfirman. Penciptaan
yang didahului oleh pertimbangan Allah yang agung ini tidak menghilangkan
dasarnya, di mana dasar penciptaan manusia tetap merupakan penciptaan materi.
Allah menciptakan manusia ‘dalam gambar menurut rupa-Nya’ supaya manusia
dapat mengenal Allah dengan memerintah atas bumi. Hubungan di antara manusia
dan Allah berbeda dengan mahkluk-mahkluk lain. Manusia diciptakan menurut
kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef. 4:24). Menjadi gambar
Allah adalah menjadi wakil Allah di dunia ini. Ini bukan semata-mata hak
istimewa (privilese) melainkan juga
tanggung jawab. Semakin besar hak diberikan, semakin berat pula kewajibannya.
Menjadi gambar Allah bukan hanya memiliki sejumlah potensi Ilahi, tetapi
bagaimana mewujudkan potensi itu bagi kemuliaan Allah. Allah menciptakan
manusia menurut gambar-Nya supaya manusia bisa mengelola dunia dan segala
isinya ini untuk kemuliaan Allah. Kata-kata yang digunakan untuk menyatakan
tugas manusia itu, "berkuasa", "taklukkanlah" adalah
kata-kata yang lazim digunakan dalam konteks kekuasaan seorang raja.
Setelah penciptaan manusia, Allah memberkati semua aspek
kehidupan sehingga ciptaan bisa bertumbuh kembang dengan baik. Berkat merupakan
kelanjutan dari karya Allah yang telah rampung dalam penciptaan. Selanjutnya
manusia diberi mandat oleh Pencipta dan Penguasa alam semesta untuk menguasai
dan menaklukkan alam, menjalankan kekuasaan terbatas yang didapatnya dari
Allah. Dan semua usaha itu harus mendatangkan kesejahteraan bagi semua
orang. Allah memberi tugas kepada
manusia untuk berkuasa dan memerintah atas segala sesuatu yang diciptakan-Nya.
B.
Implikasi
Penciptaan dirayakan dalam ibadah Israel sebagai refleksi
iman Israel bahwa kelangsungan hidup dunia ciptaan dipertahankan berkat
pemeliharaan dan pengawasan Allah berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain yang
selalu siap menghancurkan. Tanpa tindakan penciptaan tidak ada kehidupan
seperti sekarang ini.[56]
Allah yang menciptakan manusia adalah Allah Pencipta segala
sesuatu, dan yang telah menciptakan alam raya dengan segala sesuatu yang ada di
dalamnya ini baik adanya (Kej. 1:31, band. I Tim. 4:4). Itu sebabnya seluruh
ciptaan Allah dalam segala keindahan dan keagungannya memancarkan kebesaran dan
kemuliaan Sang Pencipta (Mzm. 19). Karena Allah adalah Pencipta maka Allah
adalah pemilik yang berdaulat atas seluruh ciptaan-Nya (Mzm. 24). Ini berarti
manusia bukan pemilik bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Manusia
yang diciptakan dalam gambar rupa Allah, dengan keunggulan dan dominasi manusia
atas ciptaan lain akan menjadikan peran manusia hanya sebagai wali atau duta
dari Tuhan sendiri atas ciptaan. Manusia yang diciptakan sebagai bagian dari
seluruh ciptaan sekaligus sebagai penatalayan ciptaan Allah yang lain,
ditugaskan untuk memakai dan memelihara bumi atau ciptaan lain (Kej. 2:15).
Aspek khusus dari penciptaan manusia sebagai gambar/rupa Allah
dinampakkan dalam tugas memelihara dan menjaga ciptaan seperti Allah melihara
ciptaan-Nya. Sebagai ciptaan yang mulia di antara ciptaan-ciptaan yang
lain seyogianya tidak menjadikan manusia sebagai manusia yang arogan dan
menyombongkan diri, sebaliknya akan bersyukur kepada Allah dengan
sungguh-sungguh. Manusia yang sadar akan siapa yang menciptakannya mestinya
akan tetap mengingat Sang Pencipta, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Pengkhotbah 12:1-8, “Ingatlah akan
Penciptamu.”
Gambar
Allah pada manusia tidak hanya ditemukan di dalam diri, melalui kapasitas
mental dan rohani, tetapi juga di luar, melalui tindakan penatalayanannya atas
alam dan kehidupannya. Walaupun setelah manusia melakukan dosa relasi antara
Allah dan manusia menjadi rusak dan putus. Secara rohani manusia telah rusak
karena telah terpisah dari Allah tetapi aspek dari gambar dalam rupa Allah seperti berkuasa untuk
memerintah dan menaklukan bumi tidak hilang. Atau dengan keadaan yang telah
berdosa tersebut tidak menghilangkan gambar Allah yang ada di dalam diri
manusia. Dengan kata lain, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tetap
menyandang gambar Allah.[57] Maka
sebagai penyandang gambar Allah, baik dalam keadaan sebelum kejatuhan maupun
setelah jatuh ke dalam dosa, manusia tetap menjadi mitra Allah dalam
menatalayan dan memelihara ciptaan yang lain. Ini berarti tugas menatalayan dan
memelihara ciptaan yang Allah berikan sebagai tugas dan tanggung jawab manusia
secara universal dan juga secara individu.
Memang dampak dari dosa telah menyebabkan
gambar Allah dalam diri manusia tidak berfungsi dengan benar. Manusia hidup
bukan untuk kemuliaan Allah melainkan untuk kepentingan diri sendiri yang
bersifat merusak dan menghancurkan. Akan tetapi tidak berarti bahwa manusia
yang relasinya dengan Allah belum dipulihkan tidak mampu untuk menatalayan dan
memelihara ciptaan. Mereka tetap memiliki kemampuan untuk melakukan
penatalayanan dan memelihara ciptaan yang lain karena mereka tetap penyandang
gambar Allah yang memiliki kemampuan untuk berkuasa dalam memerintah dan
menundukkan bumi. Walaupun apa yang manusia lakukan di luar iman kepada Yesus
Kristus dan tidak di dalam terang Roh Kudus tetap dipandang sebagai dosa,
karena secara rohani hubungan mereka dengan Allah masih rusak. Hanya satu jalan
untuk memperbaiki semua ini, yaitu dengan mengizinkan Allah memperbarui
gambar-Nya di dalam diri manusia oleh karya penyelamatan Yesus.
Dengan
memperhatikan kembali pertanyaan yang terdapat dalam latar belakang masalah,
apakah dengan diberikannya kekuasaan kepada manusia untuk menaklukkan dan
memerintah atas bumi dan ciptaan lain, menjadi dasar bagi manusia untuk
mengeksploitasi bumi? Jawabannya, sekali-kali tidak. Dengan telah memperhatikan
konteks dan makna kata yang ada, maka dengan diberikannya kekuasaan kepada
manusia untuk menaklukkan dan memerintah atas bumi dan ciptaan lain, mestinya
menjadikan manusia semakin bertanggung jawab dan bijaksana dalam menatalayan
dan memelihara ciptaan. Menundukkan dan memerintah atas alam tidak berarti
mengeksploitasi bumi melainkan suatu tindakkan mempelajari hukum-hukum alam,
menyelidikinya, mengeksplorasinya.[58]
Tindakkan untuk mempelajari hukum-hukum alam, menyelidiki, dan
mengeksplorasinya bukan suatu pekerjaan yang ringan tetapi diperlukan
keseriusan dan kekuatan manusia. Bernette yang
dikutif oleh Glen H. Stassen dan David P. Gushee dalam buku Etika Kerajaan menegaskan bahwa Allah
menghendaki manusia menjadi piñatalayan bagi ciptaan-Nya, dan ia memperingatkan
orang-orang Kristen terhadap krisis ciptaan yang berkembang dengan cepat.[59] Secara khusus
orang percaya. Gereja selaku persekutuan orang-orang
yang telah ditebus yang sekaligus menjadi tanda ciptaan baru dalam Kristus (II Kor. 5:7), dipanggil oleh Allah
untuk berperan dalam pembaruan ciptaan. Dengan dikuatkan oleh Roh Kudus,
orang-orang Kristen dipanggil untuk bertobat dari penyalahgunaan dan perlakuan
kejam terhadap alam. Gereja perlu merefleksikan apresiasi baru tentang ciptaan
sebagai dasar dan dorongan bertanggung jawab terhadap seluruh ciptaan.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan, apakah signifikansi dari
kekuasaan untuk menaklukkan dan memerintah atas ciptaan lain? Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan manusia pada posisi mitra.
Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan-Nya atas dunia dengan jalan
meneruskan penciptaan dalam kapasitasnya sebagai ko-pencipta. Dengan akal budi
dan hati nuraninya, manusia dimungkinkan untuk mengembangkan dunia ciptaan,
termasuk berlaku adil dan murah hati kepada mereka yang tertindas (Ams. 14:31;
22:2). Allah mengharapkan agar manusia
mengabdikan segala sesuatu di bumi kepada-Nya dan mengelolanya untuk memuliakan
Allah, sambil memenuhi maksud ilahi (band. Mzm. 8:7-9; Ibr
2:7-9). Maka
dengan demikian dapat dipahami bahwa merusak lingkungan disamakan dengan
tindakan dosa karena dipandang sebagai tindakan melawan kehendak pencipta. Sebaliknya,
usaha atau tindakan menjaga dan memelihara lingkungan hidup dipahami sebagai
kebajikan dan karena itu disebut sebagai suatu tindakan dalam melakukan mandat
Sang Pencipta.
Memelihara lingkungan adalah bagian dari misi Allah dalam
mendatangkan Shalom Kerajaan Allah. Maka orang Kristen, secara sendiri-sendiri
atau sebagai institusi, wajib menjaga dan memelihara lingkungan hidup. Ditinjau
dari segi doktrin atau pemahaman iman Kristen, maka kepedulian terhadap
lingkungan hidup tidak lagi perlu dipertanyakan. Barangkali yang menjadi
persoalan adalah praktek dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Menurut
pendapat penulis ada berbagai faktor yang menyebabkan masih kurangnya
kepedulian terhadap krisis lingkungan hidup, antara lain: Keyakinan iman belum
diimplementasikan dalam keseharian hidup. Agama masih bersifat seremoni atau
baru pada tahap pengakuan iman. Semua orang mengetahui dan meyakini bahwa
lingkungan hidup adalah anugerah Tuhan yang harus dipelihara, tetapi perilaku
hidup sehari-hari tidak sejalan dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Pengaruh
yang sangat kuat dari semangat konsumerisme, materialisme dan hedonisme,
sehingga masih lebih mengutamakan penikmatan hidup dan belum pada tahap
penghargaan kehidupan secara utuh.
Dengan mengamati dan mengetahui bahwa betapa pentingnya mandat
yang Allah berikan kepada manusia dalam menatalayan dan memelihara ciptaan,
kiranya menjadikan gereja melalui hamba-hamba Tuhan untuk menjadikan suatu
pengajaran yang tidak diabaikan melalui khotbah-khotbah. Hal tersebut untuk tetap
mengingatkan dan menghimbau orang-orang Kristen supaya tetap menjaga
keharmonisan ciptaan-ciptaan lain sebagai salah satu bentuk ketaatan kepada
Allah sebagai Sang Pencipta.
Daftar Pustaka
Atkinson, David., Kejadian 1-11. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998
Baker., Pengantar Bahasa
Ibrani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Berkhof,
Louis., Teologi Sistematika 2 Doktrin Manusia. Surabaya: Momentum, 2009
Brown, Francis, S.R. Driver, dan
Charles Briggs., Hebrew and English
Lexicon of the Old Testament. New York: Houghton Mifflin, 1907
Carson, D. A., New bible
commentary. USA: Intervarsity Press, 1994
Dyrness, William A., Agar Bumi Bersukacita Misi Holistis dalam
Teologi Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Hoekema,
Anthony A., Manusia: Ciptaan Menurut
Gambar Allah. Surabaya: Momentum, 2008
Karman,Yonky., Bunga Rampai Teologi
Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Park, Yune Sun., Tafsiran Kitab Kejadian Jawa Timur:
Departemen Literatur YPPII, 2002
Pfeiffer, Charles F. dan Everett F. Harrison (Editor)., Commentary Alkitab
Wycliffe. Jakarta: Gandum Mas, 2007
Rad, Gerhard Von., Genesis. Rev. OTL. Philadelphia:
Westminster, 1972
Sailhamer,
John H., The Pentateuch As Narative. Grand
Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1992
Stassen
Glen H. & David P. Gushee., Etika
Kerajaan. Surabaya: Momentum, 2008
Wenham,Gordon J. Word Biblical Commentary Volume I. Waco,Texas: Word
Books, Publisher, 1987
Vine, W.E., An Expository Dictionary of New Testament Words. Old Tappan, NJ:
Revell, 1940; cetak ulang 1966
[1]
David Atkinson, Kejadian 1-11 (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998), hlm. 38
[2]
Gordon J. Wenham, Word Biblical Commentary Volume I (Waco,Texas:
Word Books, Publisher, 1987), hlm. 27
[3] Baker, Pengantar Bahasa Ibrani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 83
[4] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 2 Doktrin Manusia
(Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 6
[6] David Atkinson, Kejadian 1-11 (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998), hlm. 45
[7] Charles F. Pfeiffer dan Everett
F. Harrison (Editor), Commentary Alkitab
Wycliffe (Jakarta: Gandum Mas, 2007), hlm. 29
[8] Anthony A. Hoekem, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
(Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 16-17
[9] Ibid, hlm. 17
[10] Louis Berkhof, hlm. 6
[11] Charles F. Pfeiffer dan Everett
F. Harrison, Commentary Alkitab Wycliffe (Jakarta:
Gandum Mas, 2007), hlm. 29
[12] Editor, Charles F. Pfeiffer dan
Everett F. Harrison, hlm. 29
[13] Louis Berkhof, hlm. 6
[14] Anthony A. Hoekema, hlm. 17
[15] John H.
Sailhamer, The Pentateuch As Narative (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1992) hlm. 94-95
[16] Gordon J. Wenham,…hlm. 32
[17] D.L. Baker, hlm. 103-104
[18] D. A. Carson, hlm. 61
[19] Yonky Karman, hal. 24
[20] Editor, Charles
F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison, Commentary
Alkitab Wycliffe (Jakarta: Gandum Mas, 2007), hlm. 30
[21] D. A. Carson, hlm. 61
[22] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 45
[23] Gordon J. Wenham,…hlm. 32-33
[24] Op. Cit, hlm. 31
[25] Baker,...hlm. 82
[26] Perjanjian Lama versi Yunani,
dihasilkan pada abad ke-3 SM.
[27] Alkitab terjemahan Latin disusun
oleh Jerome dari tahun 382 sampai 404
[28] Anthony A. Hoekema,…hlm. 17
[29] Anthony A. Hoekema, hlm. 18
[30] Anthony A. Hoekema, hlm. 18
[31] David Atkinson, hlm. 41
[32] Yonky Karman, hlm. 50
[33] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersukacita Misi Holistis dalam
Teologi Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 35
[34] D A Carson, hlm. 61
[35] David Atkoinson, hlm. 42
[36] Yanky Karman, hlm. 50
[37] Yune Sun Park, Tafsiran Kitab Kejadian (Jawa Timur:
Departemen Literatur YPPII, 2002), hlm. 15
[38] Gordon J. Wenham, hlm. 31
[39] David Atkinson, hlm. 42-43
[40] Francis Brown, S.R. Driver, dan
Charles Briggs, Hebrew and English
Lexicon of the Old Testament (New York: Houghton Mifflin, 1907), hlm. 853
[41] Anthony A. Hoekema, hlm. 18
[42] Gerhard Von Rad, Genesis. Rev. OTL (Philadelphia:
Westminster, 1972), hlm. 60
[43] Francis Brown, hlm. 197-198
[44] Anthony A. Hoekema, hlm. 18
[45] Anthony A. Hoekema, hlm 18
[46] Yonky Karman, hlm. 51
[47] Anthony A. Hoekema, hlm. 18
[48] Anthony A. Hoekema, hlm. 19
[49] Ibid, hlm. 19
[50] Ibid, hlm. 19
[51] W.E. Vine, An Expository Dictionary of New Testament Words (Old Tappan, NJ:
Revell, 1940; cetak ulang 1966), hlm. 247
[52] Anthony A. Hoekema, hlm. 28
[53] Yonky Karman, hlm. 51
[54] Yonky Karman, hlm. 51
[55] David Atkinson, hlm. 40
[56] Yonky Karman, hlm. 30
[57] Anthony A. Hoekema, hlm. 25
[58] Yonky Karman, hlm. 51
[59] Glen H. Stassen & David P.
Gushee, Etika Kerajaan (Surabaya:
Momentum, 2008), hlm. 560
terimakasih buat saudara Netsen.
BalasHapusmohon izin saya kutip sebaian sebagai referensi tugas Pasca saya di STT Sola Gratia.!
semoga tulisan ini dapat memberkati para pembaca.
TUHAN memberkati.!!!
Sama-sama saudara The Journey.
HapusSilahkan pakai (kutip) mana yang berguna dan memberkati saudara.
Tuhan Yesus memberkati