Setelah
selesai merayakan Perjamuan Terakhir di Ruang Atas di Yerusalem dengan
menyanyikan sebuah nyanyian pujian (lihat Mat 26:30), Yesus dan para murid
meninggalkan kota, kemudian menuruni lereng bukit dan menyeberangi Sungai
Kidron menuju Bukit Zaitun. Di situ ada suatu taman dan Ia masuk ke taman itu
bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Yudas, yang mengkhianati Yesus, tahu juga
tempat itu, karena Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya (lihat
Yoh 18:1-2).
Jarak antara kota Yerusalem dan tempat tujuan diperkirakan sekitar sekitar 1,7 km yang ditempuh dengan berjalan kaki selama setengah jam, karena keadaan lapangan yang tidak sama dengan jalan di dataran dan juga karena dilakukan pada malam hari. Sepanjang perjalanan itu Hati Yesus mengalami kesedihan mendalam dan kemungkinan besar rombongan kecil itu jalan beriring-iringan tanpa banyak bicara. Yang dilakukan mereka adalah menghaturkan doa-doa pribadi dalam keheningan. Tidak seperti biasanya, perjalanan Yesus dan para murid kali ini berkurang dengan satu orang. Iblis telah menguasai salah seorang murid-Nya. Selagi Yesus dan rombongan yang dipimpin-Nya mendekati lembah Kidron, Yudas Iskariot sedang pergi mengatur pengkhianatannya, sementara Yesus sedang menuju Getsemani, sebuah taman tempat produksi minyak zaitun. Di sana buah-buah zaitun diperas dengan alat peras sehingga menghasilkan minyak zaitun. Di sana pula Allah sendiri bermaksud untuk memperlakukan Anak-Nya seperti buah zaitun dalam sebuah alat peras.
Yesus adalah Gembala Baik yang sungguhan, yang dalam kasih-Nya yang begitu agung melihat bahaya yang mengancam kawanan domba-Nya. Inilah sebabnya mengapa Yesus memperingatkan para murid-Nya bahwa Dia berusaha menolong dan mempersiapkan mereka. Yesus tidak membawa serta mereka ke dalam taman Getsemani tanpa sekali lagi berbicara mengenai serangkaian peristiwa mengerikan yang segera akan dimulai, agar supaya mereka menyiapkan diri.
NUBUAT
YESUS
Ketika
rombongan kecil itu sampai di kaki Bukit Zaitun, Yesus bernubuat: “Malam ini
kamu semua akan terguncang imanmu karena Aku. Sebab ada tertulis: Aku akan
membunuh gembala dan kawanan domba itu akan tercerai-berai” (Mat 26:31;
bdk. Za 13:7). Yesus sangat rindu untuk mempersiapkan para murid-Nya, tidak
hanya pada malam itu sebelum pertempuran Getsemani dimulai. Sebelumnya
berkali-kali Yesus juga sudah memperingati mereka tentang hal-hal yang akan
terjadi dengan diri-Nya.
Kata-kata
Yesus ini sungguh memecah keheningan malam seperti bunyi halilintar. Reaksi
Petrus: “Biar pun mereka semua terguncang imannya karena Engkau, aku
sekali-kali tidak” (Mat 26:33). Yesus berkata kepada-Nya, “Sesungguhnya
Aku berkata kepadamu, malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal
Aku tiga kali” (Mat 26:34). Kata Petrus kepada-Nya, “Sekalipun aku
harus mati bersama-sama Engkau, aku tidak akan menyangkal Engkau.” Semua
murid yang lain pun berkata demikian juga (Mat 26:35).
Setelah
itu Yesus tidak berkata apa-apa lagi, namun Ia memimpin para murid-Nya menuju
taman Getsemani. Kata Gethesemane berarti alat pemeras zaitun. Alat
produksi minyak zaitun itu barangkali disimpan di dalam sebuah gua, dan salah
satunya masih dapat lihat di bukit itu.
DOA
YESUS
Kitab-kitab
Injil mengindikasikan bahwa Yesus sering mengunjungi Getsemani, mungkin saja
pemilik taman ini adalah seorang sahabat-Nya dari keluarga berada, seperti
keluarga Yohanes Markus. Keluarga-keluarga kaya memiliki taman dan lahan
pertanian di luar tembok kota. Ketika rombongan kecil itu sampai di Getsemani,
Yesus berkata: “Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa.”
Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya (lihat Mat
26:36-37).
Pada
setiap persimpangan jalan yang penting dalam kehidupan-Nya, Yesus berdoa.
Misalnya Dia berdoa pada waktu pembaptisan-Nya. Dia berdoa sebelum memulai
pelayanan pewartaan-Nya. Dia berdoa sebelum memilih dua belas orang rasul-Nya.
Dia berdoa sebelum bertanya kepada para rasul-Nya sebuah pertanyaan yang
teramat penting: “Siapakah Aku ini?” Dia juga berdoa pada hari
kemuliaan-Nya, ketika Ia dimuliakan di atas gunung (transfigurasi).
Dapat
dikatakan sesuatu yang ironis bahwa ketiga rasul yang bersama dengan-Nya ketika
Dia dimuliakan di atas gunung, sekarang ada bersama-Nya dalam jam sengsara-Nya.
Kita lihat apa yang dikatakan dalam Injil Matius:
Ia
mulai merasa sedih dan gelisah. Lalu kata-Nya kepada mereka, “Hati-Ku sangat
sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan
Aku.” Kemudian Ia manju sedikit, lalu sujud dan berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau
sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari hadapan-Ku, tetapi janganlah
seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat
26:37-39). Doa yang sama didoakan oleh Yesus sampai tiga kali (Mat 26:42; 26:44).
PENDERITAAN
MENTAL YANG DIALAMI YESUS
Di
taman Getsemani ini Yesus mulai suatu proses penderitaan yang akan membawa
diri-Nya kepada kematian. Proses penderitaan-Nya ini mempunyai empat aspek,
yaitu penderitaan mental, penderitaan emosional, penderitaan fisik dan
penderitaan spiritual (Mark Link SJ, Experiencing Jesus His Story, hal.
169-179).
Penderitaan
pertama adalah penderitaan mental. Yesus mengantisipasi penderitaan fisik yang
akan dialami-Nya. Antisipasi sedemikian dapat lebih menakutkan daripada
penderitaan fisiknya sendiri. Sudah berbulan-bulan lamanya Yesus berkonfrontasi
dengan para pemuka agama di Yerusalem. Yesus telah mengalami ketegangan yang
semakin memuncak antara diri-Nya dengan para pemuka agama tersebut, bulan demi
bulan, pekan ke pekan dan hari demi hari, dan sekarang: jam demi jam.
Yesus
telah memperingatkan para murid-Nya tentang akibat tak terelakkan dari
ketegangan yang telah memuncak ini. Pada suatu kesempatan Ia berkata kepada
para murid-Nya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan
diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan
menjatuhi Dia hukuman mati. Mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa
lain, supaya Ia diolok-olokkan, dicambuk dan disalibkan, tetapi pada hari
ketiga Ia akan dibangkitkan” (Mat 20:18-19).
Akan
tetapi, bagi para murid-Nya peringatan Yesus ini masuk ke telinga kiri dan
keluar dari telinga kanan, dan juga tak mampu terserap oleh nalar mereka.
Penulis Injil Markus malah menceritakan bagaimana Petrus ‘menegur’ Yesus karena
mempunyai pikiran seperti itu (lihat Mrk 8:32). Sekarang, di taman Getsemani
ini, Yesus menderita dalam kesendirian. Ia tahu sekali segala sesuatu yang akan
terjadi dengan diri-Nya malam/pagi hari itu sampai dengan esok siang hari.
Yesus pernah melihat prajurit/algojo Romawi menyiksa tawanan mereka dengan
cambukan. Ia juga telah melihat orang-orang yang dihukum mati di kayu salib.
Penyaliban pernah dikatakan sebagai pemberian hukuman yang paling kejam yang
pernah ada. Dapat diduga, bahwa pada penderitaan-Nya di malam gelap itu
terkilaslah dalam ingatan Yesus nubuatan nabi Yesaya: “Aku memberi
punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang
yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan
diludahi. …… Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita; dia diremukkan
oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. …… Banyak
orang akan tertegun melihat dia – begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia
lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi” (Yes 50:6; 53:5;
52:14).
Selagi
Yesus berlutut berdoa dalam penderitaan-Nya yang mendalam, kata-kata sang
pemazmur kiranya juga terkilas dalam pikiran-Nya: “Banyak lembu jantan
mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku;mereka mengangakan
mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum. Seperti air aku
tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti
lilin, hancur luluh di dalam dadaku” (Mzm 22:13-15).
Dalam
penderitaan-Nya, Yesus berpaling kepada Bapa di surga: “Ya Bapa-Ku, jikalau
sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari hadapan-Ku, tetapi janganlah
seperti yang Ku-kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat
26:39).
Pada
suatu hari Pater Mark Link SJ memperoleh suatu wawasan baru berkaitan dengan
penderitaan Yesus di taman Getsemani yang diperolehnya dari sebuah buku
karangan Dr. Martin Luther King Jr. yang sedang dibacanya. Seperti kita
ketahui, Dr. Martin Luther King Jr. adalah pejuang persamaan hak orang-orang
negro Amerika Serikat di tahun 1960-an yang akhirnya mati terbunuh. Dalam buku
itu diceritakan ketegangan yang ada antara Dr. King dengan pihak penguasa,
yaitu pemerintah negara bagian Alabama dan penguasa kota Montgomery, ketegangan
yang semakin memuncak dari bulan ke bulan, dari pekan ke pekan dan dari hari ke
hari.
Pada
suatu malam, dalam keadaan letih karena kerja keras seharian, pada saat Dr.
King mau pergi tidur, telepon berdering. Dr. King mengangkat telepon dan
terdengarlah suara ancaman: “Dengar baik-baik nigger (kata ejekan
menghina bagi orang-orang negro/kulit hitam di Amerika Serikat), kami telah
mengambil segalanya dari kamu. Sebelum pekan depan, kamu akan menyesal pernah
datang ke Montgomery.” Dr. King menutup teleponnya. Tiba-tiba dirinya mulai
dikuasai oleh rasa takut yang luarbiasa mencekam. Pejuang hak azasi ini mulai
kehilangan keberaniannya. Dia mulai merasa sakit di sana sini. Dia bangkit
berdiri dan mulai melangkah bolak balik dalam ruang tidurnya. Dia pergi ke
dapur, menyiapkan kopi dan duduk di sana tak tahu apa yang akan diperbuatnya
atau ke mana dia akan minta pertolongan. Kemudian dia menundukkan kepalanya dan
mulai berdoa. Doanya kira-kira berbunyi begini: Tuhan, aku memperjuangkan apa
yang aku percaya sebagai sesuatu yang benar. Namun demikian, sekarang aku
merasa takut, sangat takut. Orang-orang tergantung pada diriku untuk kepemimpinan.
Apabila aku tanpa kekuatan atau keberanian, maka mereka pun akan semakin takut.
Aku sudah sampai di ujung. Aku tidak tahu ke mana aku harus berpaling. Aku tak
tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak lagi mampu menghadapi tanggung jawab
ini sendiri.
Dr.
King menulis, bahwa pada titik inilah dia mengalami kehadiran Sang Ilahi yang
tidak pernah dia alami sebelumnya. Pengalaman Dr. King ini memberikan kepada
kita suatu wawasan bagaimana Yesus merasakan kehadiran Bapa-Nya setelah doa-Nya
di taman itu. Karena setelah Ia berdoa, Injil Lukas mengatakan: “Lalu
seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan
kepada-Nya” (Luk 22:43).
Tidak
lama kemudian terdengar suara-suara di kejauhan. Semakin keras dan keras, suatu
tanda bahwa banyak orang semakin dekat. Yesus mengetahui sekali apa artinya
ini. Beberapa menit kemudian sejumlah besar serdadu mulai memasuki taman
Getsemani. Yudas Iskariot ada bersama rombongan orang banyak itu. Orang yang
menyerahkan Dia telah memberitahukan suatu tanda kepada mereka, ‘Orang yang
akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia.’ Segera ia maju mendapatkan Yesus dan
berkata, ‘Salam Rabi,’ lalu mencium Dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya, ‘Hai
teman, untuk itukah engkau datang?’ Maka majulah mereka memegang Yesus dan
menangkap-Nya (Mat 26:48-50).
PENDERITAAN
EMOSIONAL YANG DIALAMI YESUS
Di
samping penderitaan mental-Nya, Yesus juga mengalami penderitaan emosional.
Penderitaan emosional mulai dialami Yesus ketika Yudas mengkhianati-Nya.
Penderitaan emosial-Nya semakin intensif pada saat-saat para murid-Nya
melarikan diri, meninggalkan diri-Nya sendiri menghadapi pihak lawan.
Setelah
ditangkap, mula-mula serdadu-serdadu membawa Yesus ke rumah Hanas, karena Hanas
adalah mertua Kayafas yang pada tahun itu menjadi Imam Besar (lihat Yoh 18:13).
Simon Petrus dan seorang murid lain mengikuti Yesus. Murid itu mengenal Imam
Besar dan ia masuk bersama-sama dengan Yesus ke halaman istana Imam Besar,
tetapi Petrus tinggal di luar dekat pintu. Murid yang lain itu, yang mengenal
Imam Besar, kembali ke luar, berbicara dengan perempuan penjaga pintu lalu
membawa Petrus masuk. Hamba perempuan itu mengenali Petrus, lalu bertanya: “Bukankah
engkau juga murid orang itu?” Jawab Petrus: “Bukan!” (lihat Yoh
18:15-17). Petrus menyangkal Yesus untuk pertama kalinya. Kemudian
Petrus – untuk menghangatkan badannya – berdiri di dekat api unggun yang dibuat
oleh para hamba Imam Bear dan penjaga Bait Allah bersama dengan mereka.
Setelah Yesus diperiksa dan malah ditampar oleh seorang penjaga, Hanas
mengirim-Nya kepada Kayafas (lihat Yoh 18:24). Pada saat inilah, ketika Simon
Petrus masih berdiri menghangatkan badannya, beberapa orang bertanya: “Bukankah
engkau juga salah seorang murid-Nya?” Petrus menyangkal dengan berkata:
“Bukan” (lihat Yoh 18:25-26). Petrus menyangkal Yesus untuk kedua
kalinya. Kemudian seorang hamba Imam Besar, seorang keluarga dari hamba
yangt telinganya dipotong Petrus, berkata: “Bukankah engkau kulihat di taman
itu bersama-sama dengan Dia?’” Petrus pun menyangkal Yesus untuk ketiga
kalinya dan seketika itu juga berkokoklah ayam (lihat Yoh 18:26-27). Injil
Lukas melukiskan penyangkalan Petrus yang ketiga kalinya dengan dengan lebih
dramatis:
Kira-kira
sejam kemudian seorang lain berkata dengan tegas, “Sungguh, orang ini juga
bersama-sama dengan Dia, sebab ia juga orang Galilea.” Tetapi Petrus
berkata, “Pak, aku tidak tahu apa yang engkau katakan.” Seketika itu
juga, sementara ia berkata, berkokoklah ayam. Lalu berpalinglah Tuhan
memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya, “Sebelum
ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku.” Lalu
ia pergi ke luar dan menangis dengan sedih (lihat Luk
22:59-62).
Penderitaan
mental yang mendalam dari Yesus di taman Getsemani hampir tidak dapat
ditanggung-Nya. Namun sekarang, penderitaan emosional Yesus yang dikarenakan
Dia merasa dikhianati, ditinggalkan dan disangkal hampir menghancurkan
hati-Nya. Kata-kata sang pemazmur sekarang digenapi: “Bahkan sahabat karibku
yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku”
(Mzm 41:10). Kita hanya dapat membayangkan inilah kiranya yang ada dalam
pikiran dan hati Yesus ketika Ia ditahan, setelah diolok-olok dan dipukuli
(lihat Luk 22:63) menjelang dibawa ke Mahkamah Agama di pagi harinya. Di
Mahkamah Agung, kepada Yesus diajukan suatu pertanyaan sangat penting dan
menentukan. Berikut ini petikannya:
“Jikalau
Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami.” Jawab Yesus, “Sekalipun aku
mengatakannya kepada kamu, kamu tidak akan percaya; dan sekalipun Aku bertanya,
kamu tidak akan menjawab. Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah
kanan Allah Yang Mahakuasa.” Kata mereka semua, “Kalau begitu, Engkau ini Anak
Allah?” Jawab Yesus, “Kamu sendiri mengatakan bahwa Akulah Dia.” Lalu kata
mereka, “Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita telah mendengarnya dari
mulut-Nya sendiri” (Luk 22:67-71)
Setelah
itu Yesus dibawa ke mabes gubernur Romawi, Ponsius Pilatus. Anggota
Mahkamah Agung berharap agar Pilatus-lah yang menjatuhkan hukuman mati atas
diri Yesus. Setelah sekian lama proses pemeriksaan berlangsung, Pilatus
menyimpulkan bahwa inti permasalahannya adalah suatu konflik keagamaan antara
orang-orang Yahudi sendiri. Oleh karena itu dia mencoba untuk cuci
tangan.
PENDERITAAN
FISIK YANG DIALAMI YESUS
Ketika
setiap upaya gagal, Pilatus menyerah penuh frustrasi. Dia telah menyerahkan
Yesus untuk dihukum cemeti dan menyerahkan-Nya untuk disalibkan. Di sini kita
berbicara mengenai penderitaan badaniah, atau penderitaan fisik Yesus.
Orang-orang Yahudi mengenal hukuman cambuk ini. Mereka sendiri telah
mempraktekkannya sejak zaman-zaman sebelumnya, namun hanya untuk kesalahan yang
serius. Taurat mereka mengatur sebagai berikut: “… maka jika orang yang
bersalah itu layak dipukul, haruslah hakim menyuruh dia meniarap dan menyuruh
orang memukuli dia di depannya dengan sejumlah dera setimpal dengan
kesalahannya. Empat puluh kali harus orang itu dipukuli, jangan lebih; supaya
jangan saudaramu menjadi rendah di matamu, apabila ia dipukul lebih banyak
lagi” (Ul 25:2-3).
Orang-orang
Romawi tidak memiliki perikemanusiaan. Mereka tidak membatasi jumlah pukulan,
dan mereka juga menggunakan cambuk yang dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu masuk dalam-dalam di tubuh korban. Penulis-penulis Romawi menceritakan
bahwa para korban kadang-kadang menjadi tidak-sadar-diri dan mati sebelum
pemukulan dihentikan. Nah, Yesus mengalami penghukuman kejam seperti ini.
Setelah itu, para serdadu Romawi malah mengolok-olok Yesus. Kita lihat apa yang
ditulis dalam Injil Matius:
Mereka
menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya, lalu
memberikan Dia sebatang buluh di tangan kanan-Nya. Kemudian mereka berlutut di
hadapan-Nya dan mengolok-olok Dia, katanya, “Salam, hai Raja orang Yahudi!”
Mereka meludahi-Nya dan mengambil buluh itu memukulkannya ke kepala-Nya.
Sesudah mengolok-olok Dia mereka menanggalkan jubah yang dipakai-Nya itu dan
mengenakan lagi pakaian-Nya kepada-Nya. Kemudian mereka membawa Dia ke luar untuk
disalibkan (Mat 27:29-31).
Berikut
ini adalah sedikit kesaksian dari Dr. Sheila Cassidy berkaitan dengan
penderitaan fisik yang dialaminya. Cerita ini bersumber pada tulisan Pater Mark
Link SJ dan tulisan lainnya. Dr. Cassidy lahir di Inggris pada tahun 1937 dan
sekolah di Australia. Pada tahun 1970’an Dr. Cassidy melakukan kerja pelayanan
sebagai dokter di Chile. Pada suatu hari seorang yang terluka datang kepadanya
untuk berobat. Orang ini tidak dapat pergi ke rumah sakit karena dia sedang
dicari-cari dan dikejar-kejar oleh polisi rahasia.
Tidak
lama kemudian Dr. Cassidy ditahan oleh polisi rahasia. Dokter ini dibawa ke
sebuah penjara. Dalam pernjara ini dia ditelanjangi dan tangan-tangan dan
kaki-kakinya ditarik keras ke empat arah tanpa dia dapat melawan sedikit pun.
Dr. Cassidy menulis: Aku diberi hukuman yang mengakibatkan kesakitan fisik pada
diriku, dan aku pun di bawah ancaman pembunuhan. Untuk pertama kali dalam
hidupku aku berpikir bahwa aku akan mati. Mereka mencoba memaksa aku untuk
menyebut nama orang itu …… Aku mengalami sedikit apa yang telah diderita Yesus.
Sepanjang waktu susah penuh derita itu aku hanya merasakan bahwa Dia ada di
sana dan aku pun mohon kepada-Nya untuk menolongku agar dapat tetap
bertahan.
“Setelah
empat hari penuh dengan rasa sakit secara fisik, aku dipindahkan … Aku
ditinggalkan sendirian, sungguh-sungguh sendiri dalam sebuah ruangan kecil …
Aku dikuasai oleh suatu rasa takut yang luarbiasa, bahwa setiap saat mereka
akan datang kembali dan menyiksa aku lagi. Pada saat itu aku teringat pada doa
Dietrich Bonhoeffer yang ditulisnya sementara menunggu pelaksanaan hukuman mati
atas dirinya…… “Dalam diriku terdapat kegelapan, tetapi dengan Dikau ada terang
… ya Tuhan, apa pun yang terjadi hari ini, dimuliakanlah nama-Mu.”
Selagi
Yesus digiring ke tempat penghukuman, penderitaan fisik-Nya memuncak dan
semakin intensif. Ada kebiasaan dalam dunia zaman dahulu, di mana si terhukum
harus membawa sendiri alat yang digunakan untuk menghukum dirinya. Yesus juga
tidak dikecualikan. Yesus juga harus memanggul salib-Nya sendiri, padahal
punggung-Nya sudah rusak karena sudah terlukai oleh cambukan-cambukan
sebelumnya. Setelah berjalan beberapa ratus meter jauhnya, Yesus mulai lemah
karena kehilangan darah. Dia mulai tidak kokoh dalam memanggul salib yang berat
itu. Oleh karena itu para serdadu memaksa seorang laki-laki yang sedang
menonton di pinggir jalan bernama Simon dari Kirene, untuk menolong
Yesus.
Jarak
dari mabes Pilatus ke Golgota kira-kira 400 meter (1/4 mil). Golgota adalah
sebuah bukit kecil di luar pintu gerbang kota. Golgota berarti ‘tempat
tengkorak’. Jalan-jalan menuju Golgota itu sempit dan terbuat dari batu-batu
besar. Batu-batu ini semakin lama semakin licin dan membuat orang yang berjalan
di atasnya mudah terpeleset. Pada hari Jumat itu jalan-jalan itu dipenuhi dengan
orang-orang yang ingin menonton penghukuman itu. Ketika pada akhirnya prosesi
sampai di bukit Golgota, bukit itu dengan cepat dikelilingi oleh para serdadu
Romawi yang bertugas untuk menjaga keamanan.
Yesus
kemudian ditelanjangi dan siap untuk dihukum. Pada menit terakhir, para serdadu
memberikan kepada Yesus minuman yang sudah dicampur obat-obat guna mematikan
pikiran terhadap penderitaan yang dialaminya. Ini adalah praktik yang biasa
dilakukan. Yesus menolak untuk minum.
Setelah
Yesus telah dipaku pada kayu salib, salib pun ditegakkan. Kekejaman penyaliban
adalah rasa sakit yang diderita korban dalam proses kematiannya. Rasa sakitnya
menyiksa, tetapi tidak cukup untuk mematikan. Korban seringkali mati rasa lapar
atau rasa haus. Ada laporan yang mengatakan bahwa para terhukum diketahui
bertahan sampai beberapa hari, akhirnya mati gila. Inilah jenis penderitaan
yang dialami Yesus.
PENDERITAAN
SPIRITUAL YANG DIALAMI YESUS
Penderitaan
Yesus yang keempat adalah penderitaan spiritual. Barangkali penderitaan
spiritual ini adalah penderitaan yang paling menyakitkan dari semua
penderitaan. Ini adalah penderitaan karena dibuang/ditinggalkan justru pada
waktu seseorang membutuhkan pihak lain untuk menemani dan menghibur.
Penderitaan karena ditertawakan, diejek, dicemoohkan pada saat-saat seseorang
itu menderita karena siksaan. Mari kita lihat apa yang ditulis dalam Injil
Markus:
Orang-orang
yang lewat di sana menghujat Dia, dan sambil menggelengkan kepala mereka
berkata, “Hai Engkau yang mau meruntuhkan Bait Suci dan mau membangunnya
kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!”
Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli Taurat mengolok-olok Dia di
antara mereka sendiri dan mereka berkata, “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya
sendiri tidak dapat Ia selamatkank! Baiklah Mesias, Raja Israel itu, turun dari
salib itu sekarang supaya kita lihat dan percaya” (Mrk 15:29-32).
Yesus
mendengar kata-kata itu semua, kata-kata yang sangat menyayat-nyayat hati-Nya.
Apa tanggapan Yesus terhadap kata-kata yang menyakitkan tersebut? Apakah Dia
membalas dengan kata-kata cercaan juga? Sama sekali tidak! Berikut ini adalah
tanggapan Yesus:
Yesus
berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat” (Luk 23:34). Pada jam dua belas,
kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga. Pada jam
tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring. “Eloi, Eloi, lema sabakhtani?”,
yang berarti: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mrk
15:33-34).
Dalam
kehidupan ada saat di mana kita merasa tidak berdaya, yaitu ketika teman-teman
baik kita tidak dapat menolong kita, dan ketika kita tak dapat menolong diri
kita sendiri. Saat penderitaan spiritual ini bagi Yesus adalah ketika Dia
tergantung di kayu salib. Bahkan Allah sendiri kelihatan sudah pergi
meninggalkan Dia. Yesus sendiri, tanpa siapa-siapa di sisi-Nya. Lagi-lagi Dia
kembali ke doa yang ada dalam Kitab Mazmur:
Allah-ku,
Allah-ku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap
jauh dan tidak menolong aku. … Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi
manusia, dihina oleh orang banyak. Seperti air aku tercurah, dan segala
tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di
dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada
langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku. Sebab anjing-anjing
mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan
kakiku. Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.
Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas
jubahku. Tetapi Engkau, YHWH, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong
aku! (Mzm 22:2.7.15-20).
Akan
tetapi Allah tidak datang untuk menyelamatkan Yesus! Pada akhirnya keempat
penderitaan Yesus membawa-Nya kepada kematian:
Ketika
itu hari sudah kira-kira jam dua belas dan kegelapan meliputi seluruh bumi
sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Tirai Bait Suci terkoyak
menjadi dua. Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring, “Ya Bapa, ke dalam
tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Sesudah berkata demikian Ia menghembuskan
napas terakhir-Nya (Luk 23:44-46). Waktu kepala
pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat-Nya menghembuskan napas
terakhir seperti itu, berkatalah ia, “Sungguh, orang ini Anak Allah!” (Mrk
15:39).
MAKNA
PENDERITAAN YESUS
Kematian
pada akhirnya membebaskan Yesus dari penderitaan-Nya. Selagi Dia masih
tergantung di kayu salib, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri:
Mengapa Yesus, Putera Allah, harus mengalami empat macam penderitaan yang begitu
berat? Mengapa Yesus harus mati penuh dengan rasa sakit? Bukan karena
penderitaan itu baik adanya. Samasekali tidak!
Penderitaan
itu sendiri bukanlah tujuan. Yang penting kita pegang adalah cintakasih Yesus
yang begitu agung yang menyebabkan Dia bersedia untuk menderita demi
keselamatan kita. Yesus yang tersalib berbicara kepada kita tentang
cintakasih dengan menggunakan tiga cara:
Pertama, sebagai suatu manifestasi dari cintakasih. Tubuh Yesus
yang tergantung di kayu salib adalah suatu cara visual untuk menggambarkan apa
yang telah begitu sering dikatakan Yesus: “Tidak ada kasih yang lebih besar
daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya”
(Yoh 15:13).
Kedua, tubuh Kristus yang tersalib adalah suatu pengungkapan atau
pernyataan cintakasih. Di sini ditegaskanlah bahwa cintakasih mengandung juga
unsur penderitaan. Tubuh Yesus di kayu salib mengatakan secara visual apa yang
begitu sering dikatakan oleh Yesus: “Setiap orang yang mau mengikut Aku
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”
(Luk 9:23).
Ketiga, tubuh Kristus yang tersalib adalah sebuah
perintah/undangan untuk mencintai, untuk mengasihi. “Inilah perintah-Ku,
yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh
15:12).
Senang Menemukan Weblog Netsen, mudah-mudahan masih ingat. Kunjung weblog Yonas Muanley:
BalasHapushttp://masyarakatmajemuk.blogspot.com , http://yonas-muanley.blogspot.com, http://ymuanley.blogspot.com
Terimakasih Pak Netsen Juwali
Sama-sama Pak Yonas Muanley.
HapusTetap masih ingat Pak.
Tuhan Yesus memberkati Pak Yonas Muanley