Jumat, 27 September 2013

Kesepuluh Orang Kusta


Lukas 17:11-19 
Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan Yesus setelah kesepuluh orang kusta menemui Dia, mereka berdiri dari jauh lalu berseru kepadaNya “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Dan sepuluh orang kusta tersebut sembuh semua. Tentu saja kesembuhan mereka harus mendapat kepastian pemeriksaan oleh imam. Mereka semua sembuh/tahir. Di manakah yang sembilan orang itu?
Secara umum tentu kita sering mendengar bahwa sembilan orang yang tidak datang kepada Yesus adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Apakah demikian sejatinya? Karena kebanyakan orang memahami bahwa asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan Yesus “Dimanakah  yang Sembilan orang itu?” merupakan suatu keharusan untuk datang atau kembali kepada Yesus untuk “mengucapkan syukur kepada-Nya” atau dalam bahasa kita sekarang “berterima kasih” Dalam kisah tersebut sungguh ironis, karena hanya orang asing yang datang kepada Yesus. Dalam konteks itu, tentu saja kita bisa menyebutnya sebagai orang Samaria. Hanya dia satu-satunya yang kembali untuk mengucapkan terima kasih, sedangkan sembilan orang yang lain tidak. Negatifnya adalah, Sembilan orang tersebut  “tidak tahu berterima kasih”. Mengapa? Karena mereka tidak kembali untuk menyampaikan terima kasih secara verbal (mengucapkan terima kasih) kepada Yesus.
   Yang menjadi pertanyaan bagi kita mengapa Sembilan orang itu tidak datang atau kembali kepada Yesus? Apakah itu suatu keharusan? Ataukah mereka lupa kepada Yesus, karena saking senang dan asyiknya dengan kesembuhan mereka, sehingga mereka terlena, lalu lupa kepada Yesus. Mungkin saja karena mereka telah sembuh dari sakit kusta. Tentu saja tidak mudah memahami penyakit kusta dalam konteks orang Yahudi, bagaimana mereka dipandang dan diperlakukan.
   Pandangan lain mengatakan bahwa kesembilan orang tersebut sudah sembuh; tetapi secara jahat mereka menghapus ingatan akan anugerah Allah, kesembuhan itu sendiri telah dihina dan terkontaminasi oleh ketidakberterimakasian mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan darinya. Tetapi sejujurnya bagaima sebanarnya cara atau budaya Yahudi untuk mengucapkan terima kasih. Apakah sama dengan budaya kita sekarang, harus datang langsung kepada orang bersangkutan. Dalam konteks ini Sembilan orang tersebut, apakah harus datang langsung kepada Yesus secara verbal. Sehingga kita benar-benar bisa memahami pertanyaan Yesus “Dimanakah yang Sembilan orang itu?”
    Kita hidup dalam budaya di mana penyampaian terima kasih secara langsung (bertemu) merupakan suatu keharusan. Bila seseorang menolong kita, maka kita harus mengucapkan terima kasih kepadanya. Bila tidak, maka nilai-nilai budaya yang kita hidupi akan membuat kita merasa bersalah atau bahkan disalahkan. Kita akan dicap tidak tahu berterima kasih karena tidak mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong kita. Inilah asumsi kebudayan kita saat ini dan kita hidup setiap hari di dalamnya.
   Tetapi, budaya penyampaian terima kasih secara verbal di atas bukan merupakan sebuah keharus dalam konteks Yudaisme saat itu. Pada saat itu, prinsip retribusi yang dianut orang-orang Yahudi adalah “perbuatan dibalas dengan perbuatan”. Artinya, bila mereka menerima perlakuan baik, misalnya pertolongan, mereka tidak harus mengucapkan terima kasih secara verbal, mis. “terima kasih ya”. Tidak. Mereka sebenarnya sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, yaitu mereka akan melakukan sesuatu sebagai wujud dari perasaan terima kasih mereka atas perbuatan baik yang mereka sudah terima.
    Secara kultural, perihal tidak kembalinya kesembilan orang tersebut untuk mengucapkan terima kasih, seharusnya tidak melahirkan respons sebagaimana yang terungkap melalui serangkaian pertanyaan Yesus di atas. Orang-orang Yahudi tidak akan bersungut-sungut karena orang yang mereka tolong tidak kembali dan mengucapkan terima kasih secara verbal kepada mereka.
    Maka yang mengherankan seharusnya bukan persoalan kesembilan orang itu tidak kembali untuk mengucapkan terima kasih lalu kita mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Bukankah kita terjebak dengan cara deduksi untuk memahami pertanyaan Yesus tersebut. Yang mengherankan justru adalah respons Yesus dalam bentuk serangkaian pertanyaan di atas. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas, seakan-akan Yesus berharap agar kesembilan orang tersebut kembali dan menyampaikan syukur atau terima kasih kepada-Nya. Maka, yang harus kita selidiki adalah mengapa Yesus berharap demikian yang teraktualisasi dalam bentuk serangkaian pertanyaan tersebut.
    Penyakit kusta dalam pandangan Yahudi, bukan sekadar penyakit biasa. Menurut mereka, penyakit ini adalah kutukan yang membuat orang yang mengidapnya menjadi najis. Selain menajiskan, penyakit ini juga dianggap penyakit yang hanya dapat disembuhkan melalui mukjizat. Para rabi Yahudi bahkan menganggap bahwa penyembuhan terhadap penyakit kusta sama sulitnya dengan membangkitkan seseorang dari kematian. Bukan hanya itu, pada periode Intertestamental, mulai berkembang juga pemahaman bahwa penyembuhan terhadap penyakit kusta merupakan salah satu tanda dari era Mesianik (bnd. respons Yesus terhadap pertanyaan Yohanes Pembaptis dalam Mat. 11:5).
   Jadi Yesus “mengharuskan” kesepuluh orang tersebut untuk kembali guna berterima kasih, bukan karena sebuah keharusan budaya. Itu adalah sebuah keharusan teologis. Penyembuhan dan pentahiran atas penyakit kusta yang mereka derita, seharusnya membuat mereka melihat anugerah Allah. Mereka baru saja mengalami, ibaratnya, “kebangkitan dari orang mati”. Ironisnya, yang kembali kepada Yesus bukan kesembilan orang Yahudi yang mengenal baik tradisi teologis di atas, melainkan seorang Samaria yang dalam pandangan mereka adalah orang kafir. Kesembilan orang Yahudi yang telah sembuh namun tidak kembali itu, mungkin, atas asumsi kultural mereka mengenai “perbuatan dibalas perbuatan”, berpikir bahwa mereka akan membalas itu dengan perbuatan baik lainnya. Mereka merasa berhutang, tentunya. Tetapi perasaan berhutang itu mereka perhitungkan sebagai hutang perbuatan, bukan hutang anugerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERUSAHALAH, JANGAN MENYERAH

  Berusahalah, Jangan Menyerah Salah satu tanda kehidupan adalah adanya usaha dan perjuangan. Sebatang pohon yang hidup maka akarnya akan te...