Minggu, 05 Juni 2016

TAAT KEPADA ALLAH



        Tunduk kepada wewenang, menjalankan apa yang diperintahkan, mematuhi apa yang dituntut, atau menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah itu adalah suatu gambaran atau sikap taat. Dalam Alkitab, gagasan tentang ketaatan dinyatakan dengan kata syama, yang pada dasarnya berarti ”mendengar atau mendengarkan”.  Sedangkan dalam Septuaginta atau dalam Perjanjian Baru, kata yang dipakai untuk menyatakan gagasan tentang ketaatan hypakouo yang secara harfiah berarti ”mendengar di bawah”, yaitu mendengar dengan sikap tunduk atau melayani (Kis 12:13). Istilah lain yang mengandung makna ketaatan adalah peiʹtho, yang artinya membujuk, menaruh kepercayaan, percaya, dan mengindahkan.
Terkadang syama, sekadar berarti mendengar, menjadi sadar akan sesuatu melalui indra pendengaran (Kej. 3:10). Namun, apabila kata-kata yang diucapkan menyatakan kehendak, hasrat, instruksi, atau perintah, makna istilah Ibrani itu adalah mengindahkan atau menaati orang yang sedang berbicara. Adam ”mendengarkan” perkataan istrinya, yaitu mengabulkan keinginan istrinya agar Adam juga ikut memakan buah yang terlarang. Yusuf menolak ’mendengarkan’ desakan istri Potifar (Kej. 39:10). Raja Saul takut kepada rakyatnya ”sehingga menaati (mendengarkan) perkataan mereka”, dengan demikian melangkahi perintah Allah (1 Sam. 15:24).
Istilah Ibrani yang sama digunakan sehubungan dengan Allah sewaktu Ia mendengar atau mendengarkan manusia. Misalnya, ketika Allah memberi tahu Abraham bahwa sehubungan dengan Ismael, Aku telah mendengarmu… (Kej. 17:20). Atau dibagian lain, Allah mendengar atau menanggapi permohonan orang-orang pada masa kesukaran atau penderitaan, mengabulkan permohonan mereka jika Ia menganggapnya bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan belas kasihan-Nya (Kel. 3:7-9). Hal ini tentu tidak sedang menyatakan bahwa Allah taat atau tunduk kepada manusia, melainkan untuk menyatakan akan kasih dan pemeliharaan-Nya kepada manusia. Allah peduli kepada manusia.
Ketika Alkitab menggunakan kata taat atau ketaatan, maka hal tersebut diperuntukan bagi manusia. Manusia harus taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah sangat penting untuk Kehidupan. sebaliknya ketidaktaatan manusia kepada Allah adalah awal dari kebinasaan bagi manusia (Kej. 3). Apa yang dituntut oleh Allah dari kehidupan manusia, yaitu ketaatan kepada Dia yang adalah Pencipta dan Pemelihara kehidupan (Mzm. 95:6-8).
Ketaatan kepada Allah tidak dapat digantikan oleh apa pun, misalnya, dengan mempersembahkan korban kepada Allah sebagai bentuk untuk mengganti hidup taat dalam mendengarkan firman Allah dan melakukan kehendak-Nya. Seperti yang dikatakan Samuel kepada Raja Saul, dalam 1 Samuel 15:22, ”Apakah Tuhan senang akan persembahan bakaran dan korban sama seperti akan menaati perkataan-Nya? Sungguh, Lihat! Menaati yang dinyatakan dengan sikap mendengar lebih baik daripada korban, memperhatikan lebih baik daripada lemak domba jantan”.
Ketaatan dalam mendengarkan suara Allah dan melakukan kehendak-Nya adalah hal yang pertama dan utama. Ketaatan kepada Allah membawa seseorang untuk memiliki kerinduan mendengar akan kebenaran firman Allah dan mendorong dia untuk melakukan seluruh kehendak Allah dalam totalitas hidupnya. Karena itu mempersembahkan korban kepada Allah seharusnya menjadi buah ketaatan yang ada dalam diri orang percaya.
Ketaatan kepada Allah menunjukan akan standar nilai hidup yang tinggi dihadapan Allah. Betapa Yesus Kristus, Tuhan yang telah mengambil rupa menjadi manusia telah menunjukan dan memberikan teladan kepada orang percaya. Hiduplah dalam ketaatan kepada dan lakukanlan apa yang menjadi kehendak-Nya, niscaya, Ia akan memelihara hidupmu. Amin

MEMAHAMI HIDUP KEBERIMANAN KRISTIANI


           Dalam sosiologi agama maka hampir semua orang beragama mengakui bahwa ia adalah orang beriman atau memiliki iman. Ini tentu sesuatu yang sangat menarik, karena secara umum iman selalu dipandang sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan hidup keberagamaan. Misalnya, saya orang beriman karena saya memiliki agama, saya orang beriman karena saya telah melakukan berbagai aktivitas keagamaan saya. Saya orang beriman karena saya memiliki pola doa yang teratur dalam tiap hari. Saya orang beriman karena saya telah melakukan banyak mujizat. Saya orang beriman karena saya sudah memberitakan ajaran agama saya kepada orang lain. Tentu saja baik, ketika seseorang telah melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan, memiliki pola doa dan melakukanya dengan komitmen pribadinya, melakukan mujizat, dan menjadi pemberita ajaran (Injil). Tetapi akankah itu adalah pertanda bahwa seseorang sudah memiliki iman yang sejati. Eh, nanti dulu!
Di dalam perjumpaanNya dengan orang-orang yang menyebut diri beragama, yang direpresentasikan pada para imam dan ahli taurat, Yesus sangat mengecam mereka dan menyebut bahwa mereka bukanlah orang beriman. Padahal mereka sudah melakukan aktivitas keagamaan. Yesus menyebut, mereka bukan orang yang diselamatkan (Mat. 23:13). Kepada orang yang melakukan berbagai mujizat dan memberitakan Injil palsu dengan berbagai motivasi buat diri mereka, Yesus pun mengecam, bahwa mereka ditolak oleh surga (Mat. 7:21-23). Sesungguhnya seseorang yang memiliki iman yang sejati, pasti akan dikenal dan diterima oleh surga. Karena iman bersumber dari Pemilik surga. Sebagai warga kerajaan surga yang diberi mandate tinggal dalam kesementaraan di dunia, maka sudah seharunya orang beriman menunjukan kualitas kehidupan keberimanannya di mana Tuhan hadirkan.
Sebaliknya dalam tatanan hidup keberagamaan manusia pun dengan sangat mudah mengatakan bahwa seseorang tidak memiliki iman. Misalnya ketika, seseorang mendoakan orang yang sakit dan tak kunjung sembuh bahkan meninggal, maka dengan mudahnya si-pendoa berkata bahwa yang di doakan itu tidak punya iman. Atau ketika seseorang melihat orang yang miskin, dan dengan mudah orang lain berkata bahwa dia tidak memiliki iman, karena kalau dia beriman pasti dia diberkati dan kaya, punyai ini dan itu. Secara natur alami, umumnya semua manusia ingin sehat terus-menerus, ingin hidup dalam berkecukupan dan bahkan berkelimpahan dalam materi. Tetapi, lagi, akan kah itu adalah pertanda bahwa seseorang yang mengalami hal tersebut dimaksud adalah orang yang tidak memiliki iman yang sejati. Eh, nanti dulu!
Betapa Alkitab memberi kesaksian kepada kita, Tuhan memperhatikan, memelihara kehidupan janda miskin dan memuji iman mereka (1 Raj. 17; Luk. 21:1-4). Injil Yohanes menyajikan di mana Allah ingin menyatakan pekerjaanNya melalui seorang yang buta sejak lahir (Yoh. 9:3). Para nabi, para rasul dan orang-orang yang mendapat kasih karunia Allah, mereka yang dipilih oleh Allah secara khusus untuk menjadi alat di dalam tangannya, betapa di dalam hidupnya, mereka mengalami berbagai macam pergumulan dan kesulitan hidup. Namun mereka memperlihatkan betapa mereka gigih berjuang, hidup dalam kebenaran dan melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Itulah hidup orang beriman. Hidup yang tidak cengeng dalam menghadapi berbagai pergumulan hidup. Hidup yang memuliakan Tuhan dalam berbagai kondisi yang diperkenan Tuhan.
Ayo mawas diri dalam hidup keberimanan. Bicara tentang iman adalah bicara tentang anugerah Allah kepada orang yang Dia perkenan. Iman adalah pemberian Allah kepada orang pilihan-Nya untuk hidup percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan dan melakukan kehendak Allah. Iman yang sejati adalah diperuntukan Allah bagi orang yang mendapat anugerah keselamatan yang telah dikerjakan oleh Yesus Kristus Tuhan (Ef. 2:8). Dan sebagai orang yang telah diberi iman oleh Allah, maka sudah seharusnya kita melakukan kehendak Allah. Karena untuk itulah Allah memanggil kita. (Ef. 2:10). Amin

BERUSAHALAH, JANGAN MENYERAH

  Berusahalah, Jangan Menyerah Salah satu tanda kehidupan adalah adanya usaha dan perjuangan. Sebatang pohon yang hidup maka akarnya akan te...