Jumat, 23 Februari 2018

MENINGGALKAN TUHAN



Amon, Raja Yehuda Yang Meninggalkan Tuhan
2 Raja-raja 21

 Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang bagaimana raja Manasye, dalam melakukan berbagai kejahatan di mata Tuhan selama ia menjadi raja atas Yehuda. Sebagai akibatnya maka orang-orang Yehuda pun menjadi berbuat jahat dan berdosa kepada Tuhan. Sebagai akibatnya Tuhan murka terhadap mereka dengan mendatangkan berbagai hukuman atas kehidupan Yehuda. Apa yang telah Tuhan perbuat atas mereka ternyata tidak membuat raja Amon yang kemudian memerintah menjadi belajar untuk berbalik dari kejahatan. Ia justru melanjutkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Manasye, ayahnya.
Amon diangkat menjadi raja atas Yerusalem ketika dia berumur 20 tahun, dan memerintah selama 2 tahun. Ini suatu pemerintahan yang relative sangat singkat bila dibanding dengan beberapa masa keperintahan raja lainnya, apalagi bila disbanding dengan masa kepemerintahan Manasye, ayahnya. Yang menjadi perhatian adalah bukan sekedar berbicara lamanya masa kepemerintahannya, tapi apa yang dilakukannya selama ia memerintah? Bagaimana kehidupannya selama ia memerintah. Itu jauh lebih penting. Penting bukan saja bagi dirinya tapi juga bagi kehidupan rakyat yang dipimpinnya.
Apa yang dituliskan dalam Alkitab tentang apa yang dilakukan oleh raja Amon ketika dia memerintah atas Yerusalem, ini menjadi perhatian dalam tulisan ini. Alkitab menyatakan bahwa Amon melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Mungkin kita akan bertanya, hal yang jahat apa yang dilakukan oleh Amon? Pertama, ia beribadah kepada berhala-berhala. Kedua, ia menyembah kepada berhala-berhala. Ketiga, ia meninggalkan Tuhan. Keempat, ia tidak hidup menurut kehendak Tuhan.
Apa yang dilakukan oleh raja Amon sangat bertentangan dengan apa yang Tuhan telah perintahkan kepada Musa. Raja Amon telah melawan hukum Tuhan yang telah diberikan-Nya melalui perantaraan Musa dan para nabi. Allah telah melarang umatNya untuk tidak menyembah dan beribadah kepada ilah-ilah. Allah hanya menginginkan umatNya untuk beribadah kepada Dia, Tuhan yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Allah yang telah memberikan hukum dan ketetapanNya melalui Musa. Raja Amon telah melawan Tuhan.
Tindakan Amon yang melawan Tuhan mengakibatkan hukuman Tuhan atas dirinya. Ketika Amon memerintah sebagai raja, maka pegawai-pegawainya memberontak terhadap dia. Mereka mengadakan persepakatan untun melawan dan berusaha untuk membunuhnya diistana. Musuh-musuhnya bukan berasal dari orang di luar istana. Musuh-musuh Amon adalah orang-orang di dalam istana. Yaitu para pegawainya. Mungkin kita akan bertanya, mengapa para pengawai begitu berniat jahat terhadap dia? Apa yang menyebabkan mereka berlaku demikian terhadap rajanya? Mungkinkah  para pegawainya adalah orang yang telah sadar dari perbuatan jahat raja sebelumnya, sehingga mereka ingin keluar dari kejahatan, yang mengakibatkan murka Tuhan atas mereka? Mungkinkah mereka mendengar pemberitaan para nabi yang diutus Tuhan untuk menyampaikan berita pertobatan kepada mereka? Sehingga mereka tidak menginginkan raja yang berlaku jahat dan yang meninggalkan Allah nenek moyang mereka.
Namun satu hal yang dijelaskan dalam bagian ini terkait dengan mereka yang bersepakat untuk membunuh raja Amon. Bahwa rakyat berpihak kepada raja Amon, sehingga rakyat membunuh para pegawai raja yang melakukan persepakatan untuk membunuh raja. Raja yang memerintah dengan melakukan hal yang jahat di mata Tuhan akan mendapatkan perlawanan, namun disisi lain kita juga dapat melihat bahwa ada rakyat yang telah diracuni dengan kejahatan akan melakukan pembelaan terhadap raja yang jahat pula. Disinilah kita melihat bahwa kejahatan dilawan dengan kejahtan. Raja yang jahat dibela juga oleh rakyat yang jahat. Itulah rantai dosa.
Selanjutnya, bagaimana akhir dari masa kepemerintahan raja Amon. Kisah ini diakhiri dengan bagaimana rakyat mengangkat Yosia, anaknya untuk menggantikan dia menjadi raja dan memeritah atas Yerusalem. Itulah jabatan. Itulah masa kekuasaan. Kekuasaan, kepemerintahan manusia akan berakhir. Tetapi kepemerintahan Allah akan hidup orang percaya tidak akan pernah berakhir. Kekuasaan Allah atas hidup orang percaya tetap untuk selama-lamanya.
Akhirnya raja Amon bukan saja mengakhiri masa kepemerintahannya sebagai raja atas Yerusalem. Ia pun mengakhiri hidupnya di dunia. Ia pun meninggal dan dikuburkan. Segala kisah hidup dengan semua yang dilakukannya sebagai raja dicatat dalam kitab sejarah raja-raja Yehuda. Demikian halnya dengan hidup kita dengan segala yang akan kita lakukan, bukan saja dicatat oleh generasi selanjutnya tetapi juga dicatat dalam catatan sejarah yang kekal. Apakah hidup kita memuliakan Tuhan, apakah dalam hidup ini kita telah melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan, adakah kita setia kepada Tuhan selama kita menjalani hidup yang Tuhan telah anugerahkan? Atau jangan-jangan sebaliknya, kita telah mengikat hati dan hidup kita pada berhala-berhala zaman. Mungkin kita telah mencintai diri lebih dari pada Tuhan, mungkin kita telah mencintai pekerjaan, hobi harta kekayaan jabatan dan lain-lainnya lebih dari pada kita mencintai Tuhan. Atau jangan-jangan kita telah mencintai aktivitas religiusitas kita lebih dari cinta kita kepada Tuhan. Siapa yang tahu? Sejujurnya diri kita yang tahu tentang siapa kita. Dan lebih jujur lagi, hanya Tuhanlah yang tahu tentang siapa kita sesungguhnya. Karena jangan sampai kita merasa kita telah mengasihi Tuhan, tapi Tuhan tidak mengasihi kita. Jangan sampai kita merasa dikasihi oleh Tuhan, tapi ternyata Tuhan murka dan menolak kita.
Mari belajar dari kisah kehidupan raja Amon. Janganlah kiranya hati kita terikat pada ilah-ilah zaman, janganlah kiranya kita memperhamba diri pada hal-hal yang bersifat kesementaraan dan janganlah kiranya kita meninggalkan Tuhan hanya karena berbagai macam kesulitan hidup yang sementara, janganlah kiranya kita meninggalkan Tuhan hanya karena ingin kekayaan, kedudukan, kesehatan dll. Kiranya Tuhan menolong kita, memampukan kita dan menuntun kita dalam hidup takut akan Dia. Amin

Kamis, 22 Februari 2018

MANASYE, RAJA YEHUDA


2 Raja-raja 21:1-18

Manasye, raja Yehuda anak dari raja Hizkia dan Hefzibah, raja yang ketika hampir meninggal namun diberi hidup 15 tahun lagi oleh Tuhan. Manasye berumur 12 tahun ketika ia diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya, Hizkia. Ia memerintah selama 55 tahun di Yerusalem. Apa yang dilakukan oleh raja Manasye dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan orang-orang Yehuda merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan supaya menjadi pembelajaran bagi kehidupan orang percaya sehingga tidak jatuh pada kesalahan fatal yang mengakibatkan Tuhan murka.
Alkitab mencatat bahwa Manasye melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, sesuai dengan perbuatan keji bangsa-bangsa yang telah dihalau Tuhan dari depan orang-orang Isarel. Manusia sangat terbatas untuk melihat apa yang dilakukan oleh sesamanya, apakah dia melakukan apa yang baik, atau yang jahat, apakah dia melakukan apa yang benar atau yang salah. Tetapi manusia tidak dapat bersembunyi dari pandangan Allah. Manusia ada dalam penglihatan Allah. Hal itulah yang tidak disadari oleh seorang raja bernama Manasye. Tuhan telah menghalau bangsa-bangsa lain yang telah berbuat keji, jahat dan berdosa. Hal itu Tuhan lakukan di depan bangsa Israel, supaya bisa menjadi pusat pembelajaran bagi orang Israel, khusunya raja Manasye. Ternyata raja Manasye gagal dalam mempelajari apa yang telah Tuhan tunjukan melalui bangsa-bangsa lain. Manasye malah kecemplung dalam tindakan yang sangat jahat.
Mungkin kita akan bertanya, hal-hal jahat apa yang raja Manasye telah lakukan? Apa yang Alkitab katakan tentang perbuatan jahat yang raja Manasyeh perbuat.
Raja Manasye mendirikan kembali bukit-bukit pengorbanan yang sebelumnya telah dimusnahkan oleh ayahnya. Dia membangun mezbah-mezbah untuk Baal, dan membuat patung Asyera seperti yang dilakukan oleh raja Ahab serta sujud menyembah kepada segenap bala tentara langit dan beribadah kepadanya. Manasye juga membuat mezbah-mezbah dirumah Tuhan. Dengan demikian ia membuat rumah Tuhan menjadi tempat penyembahan berhala. Pada hal tentang rumah Tuhan, Allah telah berfirman bahwa di Yerusalem Allah telah menaruh nama-Nya. Yerusalem seharusnya menjadi pusat penyembahan umat-Nya utuk beribadah kepada-Nya, namun Manasye menyimpangkannya pada penyembahan berhala-berhala. Manasye memandang hina kekudusan Allah. Hati Manasye terpaut pada ilah-ilah dan bukan kepada Allah. Sebab ia tidak hanya membuat mezbah bagi Baal tetapi juga sujud beribadah kepadanya. Manasye melawan ketetapan dan hukum Tuhan yang telah diberikan-Nya melalui Musa.
Begitu jauhnya Manasye menyimpang dari ketetapan Tuhan, hingga dia menjadikan anaknya sebagai korban persembahan bakaran. Ia menyerahkan anaknya untuk dibakar dalam api. Raja Manasye juga melakukan dosa ramal, telaah, menghubungi pemanggil para aruwah dan memanggil para roh peramal. Alkitab menegaskan betapa banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh raja Manasye di mata Tuhan.
Jikalau melihat ke belakang tentang apa yang telah difirmankan oleh Tuhan kepada raja Daud dan juga raja Salomo, dimana Tuhan telah berfirman kepada mereka bahwa tentang rumah Tuhan di Yerusalem, Tuhan telah memilih Yerusalem sebagai tempat untuk meletakan nama-Nya. Apa yang Tuhan harapkan dari umat Israel adalah mereka melakukan tepat seperti yang Tuhan telah perintahkan kepada Musa. Tuhan ingin mereka berpengang pada hukum-Nya, hukum taurat yang telah iIa berikan melalui Musa dan melakukan hukum tersebut. Tetapi umat Israel tidak mau mendengarkan. Karena mereka telah disesatkan oleh raja Manasye. Sehingga umatpun melakukan apa yang jahat. Mereka mengikuti apa yang raja Manasye ajarkan kepada mereka. Kesesatan raja Manasye mengakibatkan kesesatan bagi umat juga. Dosa raja Manasye mengakibatkan keberdosaan bagi umat juga.
Di kala sesesatan dan kejahatan yang sedang merajalela melalui raja Manasye dan orang-orang Yehuda. Tuhan menyatakan kasih-Nya dengan cara mengutus para nabi-Nya untuk mengingatkan mereka akan dosa yang keji. Apa yang difirmankan Tuhan melalui nabi-Nya adalah untuk menyampaikan bahwa Tuhan akan menghukum mereka. Tuhan akan menimpakan malapetaka atas Yerusalem dan Yehuda. Mereka akan diserahkan oleh Tuhan ke dalam tangan musuh-musuhnya. Segala milik mereka akan dijarah dan dirampas oleh para musuh. Sebagai akibat dari keberdosaan mereka kepada Tuhan. Mereka telah menimbulkan sakit hati bagi Tuhan. Ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan mereka lakukan sejak mereka dituntun oleh Tuhan keluar dari perbudakan di Mesir hingga pada saat mereka telah mendiami tanah Kanaan, tanah yang Tuhan telah berikan kepada mereka.
Kejahatan terakhir yang bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh raja Manasye adalah bagaimana dia membunuh dan menumpahkan darah dari orang-orang yang tidak bersalah. Orang yang tidak bersalah mungkin menunjuk pada para nabi Tuhan yang memberitakan kebenaran dari Tuhan. Mungkin juga menunjuk pada orang-orang Yehuda yang sebetulnya hidup dalam melawan ketetapan raja Manasye. Tetapi mereka dibinasakan olehnya.
Sebagai seorang raja, Manasye tentu seorang yang memiliki “kekuasaan”. Dengan kekuasaan tersebut seharusnya dapat menuntun umat dalam kehidupan yang benar, tetapi sebaliknya kekuasaan tersebut salah digunakan. Dia tidak saja menyesatkan diri, tapi menyesatkan umat. Dia tidak hanya berdosa seorang diri tetapi juga mengakibatkan umat berdosa. Belajarlah pada sejarah. Belajarlah dan berpeganglah pada firman Allah, jikalau hidup ini tidak ingin dimurkai oleh Allah. Allah adalah Allah yang berdaulat, berkuasa di atas segala kekuasaan penguasa di dunia. Sehingga Dia berotoritas untuk menegakkan hukum-Nya atas ciptaan-Nya dengan cara yang Dia kehendaki. Allah adalah Allah yang suci, yang kudus, sehingga Dia tidak ingin dengan kesucian dan kekudusan-Nya dipermainkan dan dihinakan. Allah adalah Allah yang kasih dan adil sehingga ia menyatakan kasih dan keadilan-Nya. Dengan kasih Dia memimpin dan memelihara umat-Nya, dengan adil juga Dia akan menghukum mereka yang melanggar perintah-Nya.
Di akhir dari kisah ini, Alkitab menyatakan tentang akhir kehidupan raja Manasye. Raja Manasye pun meninggal dan dikuburkan. Tetapi ada hal penting yang perlu diperhatikan bahwa raja Manasye dengan segala dosa dan kejahatannya dicatat dalam kitab sejarah raja-raja Yehuda. Seperti apa kehidupan kita? Bagaimana orang mencatat, merekam dan mengukir hidup kita dalam catatan mereka? Kita tentu mengharapkan nama yang harum, catatan yang indah tentang diri kita. Apa yang bisa kita wariskan bagi generasi kita, bagi keluarga kita, akankah catatan-catatan yang penuh dengan dosa dan kejahatan atau sebaliknya catatan-catatan indah yang bernilai mahal. Hidup kita akan berakhir, karena itu selagi dianugerahkan hidup oleh Tuhan lakukanlah kehendak-Nya, ajarkan kebenaran, tinggalkan keteladanan hidup benar. Kiranya Tuhan menolong dan memampukan kita. Amin

Kamis, 15 Februari 2018

MISTERI SALIB



(Suatu perenungan memaknai Minggu sengsara mengingat penderitaan Yesus Kristus)

Pengakuan iman rasuli merupakan kredo resmi. Kredo tersebut dikenal juga sebagai pengakuan iman gereja Kristen yang paling awal, yang di dalamnya terdapat kalimat-kalimat crusial yang mengandung makna yang memberi kehidupan. Pada bagian tengah dalam pengakuan iman rasuli menegaskan tentang siapa Yesus. Di dalam bagian tersebut dikatakan tentang Dia: “Menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan.” Bagian ini merangkum pernyataan-pernyataan tentang bagaimana kredo orang percaya mula-mula. Kredo ini tercatat dalam Alkitab, secara khusus PB. Kredo ini berlandas pada Kitab Suci. Rasul Paulus, ketika dia berbicara tentang Injil, menegaskan, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya” (1 Kor. 15:3-5).
Yesus Kristus yang menderita, disalibkan, mati, dikuburkan, bangkit dan naik ke surga merupakan pusat iman Kristen. Apa yang telah ditimpakan kepada-Nya telah ditanggung-Nya. Dan itu semua adalah realita dan fakta yang tak terbantahkan. Walau banyak orang yang menyangkal, tak percaya dan tak terikat iman kepada-Nya. Craig A. Evans dan N.T. Wright, dalam sebuah buku yang berjudul Hari-hari terakhir Yesus, mengatakan bahwa, semua sejarawan tulen, religius atau tidak, percaya Yesus dari Nazaret sungguh hidup di abad pertama dan dihukum mati di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, gubernur Yudea dan Samaria. Dikatakan lebih lanjut, meskipun hal ini umum diketahui di antara para ilmuwan, masyarakat belum tentu menyadarinya. Dan keberatan tetap ada dan tetap berlangsung.
Mungkin tidak sedikit orang yang menolak realitas yang dialami oleh Yesus, karena dalih hal tersebut ditegaskan oleh Kitab Suci (Alkitab) dan Kekristenan mula-mula. Tetapi harus diingat, bahwa fakta kematian Yesus juga diterima oleh para penulis Yahudi dan Romawi. Yosefus, seorang sejarawan dan apologet Yahudi abad pertama yang berhasil luput dari pemberontakan melawan Roma yang mengakibatkan  bencana besar, menyatakan bahwa Yesus telah dituduh oleh para pemimpin Yahudi, dan dihukum untuk disalibkan oleh Pilatus. Selain Yosefus, seorang sejarawan Roma bernama Tacitus, mengatakan; “Kristus…menderita hukuman mati sewaktu pemerintahan Tiberius dengan keputusan procurator Pontius Pilatus.” Seorang lain, bernama Lucian dari Samosata, dalam rujukan yang menyindir Peregrinus dan orang Kristen yang sesaat dijadikannya teman, merujuk kepada Yesus sebagai “orang yang disalibkan di Palestina” “orang pandai yang disalibkan itu.” Dan seorang terakhir yang merujuk pada kematian Yesus, “orang bijak” orang yahudi, itu yang disebutkan oleh Mar bar Serapion, seorang Syria, dalam sebuah surat yang ditulis kepada putranya seekitar akhir abad pertama.
Realitas kematian Yesus juga mendapat peneguhan dalam fakta sederhana bahwa peristiwa tersebut tidak diantisipasi oleh para pengikut-Nya. Ketika Yesus berbicara tentang penderitaan dan kematian-Nya yang sudah dekat, Petrus juru bicara para murid menarik gurunya kesisi lalu menegur-Nya (Mrk. 8:31-38), suatu tanda jelas tentang ketidaksiapan Petrus menerima hal tersebut. Apa yang mereka harapkan? Mereka berharap duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus, untuk membentuk pemerintahan baru bagi Israel (Mat. 19:28; Mrk. 10:35-40; Luk. 22:28-30). Namun apa yang terjadi, Kerajaan (pemerintahan) Allah telah menyingsing dan pemerintahan iblis segera akan berakhir (Mrk. 1:15;3:11,22-27; Luk. 10;17-19;11:20).
Mulanya kematian Yesus bagi para pengikut-Nya adalah sumber aib dan memalukan. Dan kepada aib itulah Paulus merujuk ketika ia menyatakan bahwa ia “tidak malu akan Injil” (Rm. 1:16). Dalam pemikiran dunia Romawi, anak-anak Allah, pahlawan, juruselamat tidak mati disalib. Pada waktu itu tidak ada sentimentalitas terkait kematian Yesus dan pasti tidak juga pada salib, suatu symbol yang mengerikan dalam dunia Romawi kuno. Melalui kematian Yesus yang disalib maka membuat salib disebut sebagai kabar baik.  Jika Yesus tidak disalib, maka orang Yahudi dan non Yahudi tidak akan pernah mengerti Injil/kabar baik yang menyelamatkan, Injil yang memberi kehidupan.
Sungguh, kematian Yesus bukan fiksi. Kematian Yesus adalah realitas sejarah yang suram. Sejarah yang gelap. Hal itu justrus dikemukakan oleh orang yang bukan Kristen, dan merupakan suatu peristiwa yang meruntuhkan semangat para pengikut-Nya. Khususnya pada peristiwa penyaliban, para murid lari tercerai berai meninggalkan-Nya, Petrus menyangkal-Nya. Tetapi ingat, disalib yang dipandang aib, disalib yang dipandang memalukan, di salib yang dipandang hina, disitulah dosa diselesaikan, di situlah maut dikalahkan, disitulah kemenangan yang sejati, disitulah terdapat pengharapan dan kehidupan yang kekal. Ketika seorang penyamun yang sedang tersalib berkata: "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Yesus, Sang Juruselamat  yang sedang tersalib menjawab, Dia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."(Luk. 23:42-43). Di salib, di bawah Yesus yang sedang tersalib, seorang kepala pasukan yang sebelumnya dengan teriakan lantang, muka garang dan aksi beringas menyalibkan-Nya, ia bertekut lutut, melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: "Sungguh, orang ini adalah orang benar!" (Luk. 23:47)
Itulah fakta Salib Kristus, kebenaran dan kekuatan Salib. Jangan keraskan hati mu, datanglah pada-Nya, pada salib Kristus, di sana, pada-Nya kita mendapatkan kehidupan yang sejati. Amin.

Selasa, 13 Februari 2018

Jonathan Edwards: SEBUAH PERASAAN BARU


Membaca kisah perjalanan kehidupan Jonathan Edwards memang memberi pencerahan dan kekuatan bagi mereka yang mampu menangkap kisah tersebut dengan baik. Kisah perjalanan hidup keberimanan salah seorang tokoh pembaharuan atau yang juga dikenal dengan tokoh kebangunan rohani ini menarik untuk dipelajari karena kisah tersebut bukan bagaimana dia menceritakan tentang siapa dan bagaimana dirinya, tetapi bagaimana orang lain menuturkan tentang dia. Misalnya, D. Martyn Lloyd-Jones (1899-1981), seorang pendeta dan theolog yang sangat berpengaruh, melukiskan Jonathan Edwards. “Saya tergoda, mungkin bodoh, untuk menyamakan kaum Puritan dengan pegunungan Alpen, Luther, dan Calvin dengan pegunungan Himalaya, dan Jonathan Edwards dengan puncak Everest! Bagiku, ia selalu tampak sebagai sosok yang paling mirip dengan Rasul Paulus,” demikian deskripsi dari pena Llyod-Jones sendiri. Walaupun mungkin kita akan mengatakan atau menganggap Llyod terlalu berlebihan, tapi itulah gambaran seorang Edwards bagi seorang Llyod.
Seorang tokoh lain bernama Samuel Hopkins (1721-1803), seorang pendeta dan theolog yang belajar theologi di bawah bimbingan Jonathan Edwards, mengatakan, “Presiden Edwards, dimana Edwards pernah menjadi Presiden dari Princeton University, adalah salah satu dari orang-orang yang terbesar, terbaik, dan paling berguna pada masa ini. Ada alasan untuk berharap walaupun ia sudah tiada, ia akan tetap terus berbicara untuk masa-masa yang akan datang, untuk manfaat yang besar bagi Gereja Kristus, dan kesejahteraan abadi bagi banyak jiwa dan tulisan-tulisan beliau akan menghasilkan panen kebahagiaan yang lebih besar lagi bagi manusia dan kemuliaan bagi Tuhan pada hari Tuhan.” Banyak tulisan Edwards yang dicetak, dijual, disediakan secara online dan disimpan di perpustakaan sampai detik ini, menandakan bahwa kutipan di atas sudah menjadi kenyataan.
Karena itu, melalui kisah hidup tokoh, Edwards ini, dimana kehidupan dan pemikiran Edwards akan “berbicara” dan mencerahkan kita sebagai orang percaya yang hidup saat ini, untuk semakin melihat dan menikmati kemuliaan Tuhan.
Jonathan Edwards adalah seorang pendeta dan theolog yang pemikirannya sangat luas. Ia membahas banyak topik, dari hal yang spiritual seperti kemuliaan Tuhan, sampai pada kehidupan sehari-hari seperti olahraga. Namun, yang membuat saya sangat tertarik kepadanya adalah kehidupannya. Ia memiliki kehidupan yang menghidupi Alkitab. Ya, sekali lagi: Ia benar-benar berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghidupi firman Tuhan di dalam hidupnya yang singkat. Karena itu, maka tulisan tentang bagian-bagian kisah kehidupan Edwards akan ditulis secara berseri. Sehingga kita dapat melihat cuplikan dari perjalanan hidup Jonathan Edwards dan sesekali berhenti sejenak untuk merenungkan apa sih yang bisa kita petik dari masa-masa itu.
Point pertama yang bisa kita dapatkan dan renungkan adalah adanya sebuah perasaan yang baru dalam diri Edwards. Seorang Amerika yang dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1703 ini sudah memperoleh pendidikan Alkitab dan theologi Reformed sejak kecil. Hal tersebut memungkinkan karena sang ayah, Timothy Edwards, adalah seorang pendeta. Steven J. Lawson, dalam bukunya yang berjudul The Unwavering Resolve of Jonathan Edwards, menuliskan bahwa Timothy mempersiapkan Jonathan muda untuk pelayanan dengan mengajarkan dia Alkitab, Katekismus Singkat Westminster, dan theologi Reformed. Melalui ayahnya, ia juga melihat secara langsung kehidupan Kristen dan tanggung jawab serta upah dari pelayanan sebagai pendeta. Selain itu, peran sang ibu, Esther Stoddard, juga sangatlah penting. Hal ini tercermin dari tulisan Stephen J. Nichols dalam bukunya yang berjudul Jonathan Edwards: A Guide Tour of His Life and Thought. Nichols mengatakan, “Sebagai tambahan, Jonathan belajar Alkitab, katekismus, kekayaan warisan kaum Puritan, dan iman Reformed dari ayahnya dan ibunya.”
Edwards bukan hanya diperkenalkan, tetapi juga telah “dilatih” kekristenan sejak kecil? Latihan yang disiplin dan terus-menerus itu ternyata tidak membuat Edwards otomatis bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamatnya. Edwards baru benar-benar bertobat pada waktu ia berumur tujuh belas tahun, saat menyelesaikan program magisternya di Yale University.
Pertobatannya kepada Yesus Kristus yang tiba-tiba ini terjadi pada waktu ia sedang merenungkan 1 Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Amin.” Berikut adalah kata-kata Edwards sendiri mengenai pertobatannya, “Datang ke dalam jiwaku, dan seolah-olah disebarkan melalui itu, sebuah rasa kemuliaan Sang Ilahi; sebuah perasaan yang baru, yang sangat berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan sebelumnya.” Bertahun-tahun kemudian, Edwards merenungkan kembali pertobatannya di masa muda dan memberikan gambaran lebih lanjut sebagai berikut, “Aku pada waktu itu mulai memiliki suatu jenis pengertian dan gambaran-gambaran baru tentang Kristus, dan karya penebusan, dan jalan keselamatan melalui-Nya yang sungguh mulia. Sebuah perasaan yang mendalam, perasaan yang manis tentang hal-hal ini, kadang-kadang, masuk ke dalam hatiku; dan jiwaku dibawa pergi pada gambaran-gambaran yang menyenangkan dan perenungan akan hal-hal tersebut. Dan pikiranku sangat dipenuhi untuk menghabiskan waktu dalam pembacaan dan perenungan tentang Kristus, tentang keindahan dan kemuliaan pribadi-Nya, dan jalan keselamatan oleh kasih karunia yang cuma-cuma di dalam diri-Nya yang begitu indah.”
Pernahkah kita menyadari arti pentingnya dalam mengajarkan anak-anak kebenarana Alkitab dari sejak dini. Baik dalam konteks sebagai keluarga Kristen maupun dalam konteks gereja dalam mengajar dan melayani anak sekolah Minggu. Edwards salah seorang yang beruntung memiliki ayah dan ibu yang hidup dalam takut akan Tuhan. Mengajarkan kebenaran Alkitab tidak harus dengan menjadi seorang pendeta. Mengajakan kebenaran Alkitab adalah tanggung jawab setiap orang percaya yang telah ditebus oleh Kristus, Tuhan. Ketika orang diajarkan kebenaran belum tentu seketika itu mereka akan hidup seperti yang diajarkan pada mereka. Tetapi dengan mengajarkan kebenaran maka pengajar telah menanamkan konsep dan nilai yang benar bagi mereka yang diajarkan. Bagian kita adalah mengajar, mendoakan dan hidup dalam ajaran yang benar itu, selanjutnya kiranya Allah yang memberikan pertumbuhan bagi mereka yang diajar. Selanjutnya, pernahkah kita merasakan perasaan seperti  yang Edwards rasakan, suatu “perasaan yang baru, yang berbeda, yang mendalam, yang menyenangkan, yang manis” tentang Kristus dan karya penebusan-Nya. Pernahkan kita sungguh-sungguh berterima kasih kepada Tuhan atas jalan keselamatan “oleh kasih karunia, melalui iman” yang sudah Ia hadiahkan kepada kita? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin.


BERUSAHALAH, JANGAN MENYERAH

  Berusahalah, Jangan Menyerah Salah satu tanda kehidupan adalah adanya usaha dan perjuangan. Sebatang pohon yang hidup maka akarnya akan te...