Rasa tidak cukup, tidak puas dan ingin lebih. Itulah gambaran hati manusia berdosa. Merasa tidak pernah cukup mengakibatnya manusia menjadi serakah, mengekspoitasi, menindas, menjarah, mencuri, korupsi hingga tega membunuh sesama bahkan keluarga demi mencapai keinginannya. Tidak pernah puas dan tidak merasa cukup juga membuat manusia sulit untuk berbagi dengan sesamanya, karena hidup hanya berpusat pada diri. Manusia akan menjadi egois dan krisis cinta kasih. Tidak pernah merasa puas dan selalu merasa kurang membuat manusia tidak bersukacita, kalau pun ada sukacita, maka sukacitanya adalah sukacita yang semu. Orang yang merasa selalu kurang dan tidak pernah merasa cukup akan sulit untuk mengucap syukur atas pemeliharaan Tuhan dalam kehidupannya. Kemampuan dan perasaan merasa cukup bukan tindakan instan dalam diri seseorang tetapi suatu proses pembelajaran yang harus dilakukan.
Sebagai orang percaya apakah kita masih diikat oleh hati dan sikap hidup yang tidak pernah merasa cukup? Atau kita sudah belajar untuk mencukupkan diri dengan segala yang Tuhan telah berikan kepada kita? Belajar mencukupkan diri berarti menyangkut suatu pengendalian atas diri. Itulah yang dilakukan oleh rasul Paulus ketika ia berkata; Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:11).
Mengutip dari pandangan seorang puritan bernama Thomas
Lye, ada karang-karang dan rawa pasir hisap yang harus dihindari secara
maksimal oleh iman: Waspadailah kekhawatiran yang merusak (Flp. 4:6). Kekhawatiran
yang merusak adalah kekhawatiran yang membuat seseorang meragukan pemeliharaan
Tuhan atas hidupnya. Allah yang memberi makan burung pipit akan mencukupi
kebutuhan kita. Hati-hati terhadap nasihat duniawi, dan jangan mengandalkan
manusia atau bantuan yang bersifat kedagingan. Mencari kelepasan dengan melawan
hukum dapat disamakan dengan memancing menggunakan kail emas tetapi hanya
berhasil menangkap bangkai ikan, tubuh mungkin terpelihara, tetapi membinasakan
jiwa.
Jangan membatasi Yang Kudus dari Israel dengan satu
cara kelepasan belaka. Naaman menginginkan Nabi Elisa menggerak-gerakkan
tangannya di atas tempat penyakit (kusta) itu untuk menyembuhkannya. Namun Elisa
memerintahkan kepadanya untuk pergi ke sungai Yordan, dan mandi tujuh kali di
sana (2Raj. 5:10-11). Awasi ketidaksabaran yang menimbulkan sungut-sungut,
keluh kesah, dan perbantahan melawan pengaturan Allah. Inilah batu besar yang
menjadi sandungan Yunus yang malang: kemarahannya yang begitu besar karena
pohon jarak yang mengering. Jangan meragukan kasih Allah ketika menderita. Hati
Allah tidak dapat kita pahami sepenuhnya. Diperlukan iman untuk taat pada
pemeliharaan Allah.
Iman kerap
kali justru menemukan kasih di hati Allah meskipun yang terlihat di keningNya
kernyitan belaka. Batu pemberat iman bergerak dalam aliran arus yang berbeda.
Iman mengalir dalam arus rasa cukup (Flp. 4:11) dan kerendahan hati. Kerendahan
hati menenangkan jiwa dan membuatnya selamat menunggangi badai. Kesombongan
membengkakkan hati dan menyebabkan hati tidak sanggup menahan beban sekecil apa
pun. Iman juga mengalir dalam arus pemikiran sorgawi. Iman mengecap dan
mengarahkan afeksinya pada perkara yang di atas. Iman yang dipengaruhi oleh
pemikiran sorgawi, terbang tinggi dan mampu memandang melampaui
bintang-bintang. Iman memandang pada "tangan sorga” dalam semua peristiwa
hidupnya. Iman memandang melampaui hingga menjangkau isi hati Allah. “Allah
yang mengambil,” kata Ayub. Allah senantiasa bertindak atas dasar kasih, yang
mana tujuan akhir pengaturan-Nya senantiasa demi kebaikan para orang kudus-Nya.
Iman berpusatkan pada kemuliaan di masa mendatang. Kristus menjalani salib
menuju sorga: demikianlah seharusnya semua orang percaya. Pikullah salib hari
ini, terimalah mahkota kehidupan di hari esok (Yak. 1:12). Mohonlah kekuatan
dan pertolongan dari Allah untuk menjalani semuanya. Tuhan memberkati. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar