Apa yang menjadi objek andalan manusia? Apakah kesehatan? Atau kekuatan fisik? Usia yang masih muda? Otak yang pintar? Keluarga? Sahabat? Atau harta kekayaan? Apakah itu semua adalah akar dan pondasi untuk kita meletakan hidup? Jika ya, maka seberapa kuat semua hal tersebut untuk menjadi pondasi bagi kehidupan kita? Bagaimana dengan kita sebagai orang percaya. Apakah kita menjadikan semua itu sebagai objek andalan kita. Bukan.
Tuhan seharusnya menjadi
objek tunggal andalan orang percaya. Di tengah pergumulan hidup, topan badai,
kita harus datang kepada Gunung Batu ini sebagai tempat perlindungan (Yes.
26:4). Saat panas terik, pohon jarak Yunus terbukti tidak berarti; tidak ada
tempat teduh yang menyamai naungan sayap-Nya (Mzm. 36:8). Pengandalan atau
kepercayaan yang kudus merupakan satu tindakan lazim sekaligus istimewa,
menyembah kepada Allah yang kudus. Tidak boleh ciptaan berbagian dalam hal ini,
karena itu akan menjadi ilah atau allah palsu. Memercayai dan mengandalkan
Allah merontokkan engsel-engsel kepercayaan kita kepada yang lain termasuk
kepercayaan kita pada diri sendiri. Kita tidak dapat mengandalkan Allah
sekaligus Mamon. Seharusnya hanya ada satu tali busur kepercayaan kita, dan itu
adalah Tuhan. Secara lebih khusus, kita tidak boleh meletakkan andalan kudus
kita kepada apa pun, baik yang berada di dalam maupun di luar kita, selain
kepada Allah. Kita tidak dapat bersandar pada pengertian sendiri (Ams. 3:5).
Meletakkan dan menaruh kepercayaan pada sesuatu yang bukan Allah hanya akan menuntun
kita ke tempat berlumpur yang mematikan. Pada kesesatan yang semakin jauh dari
pusat kehidupan dan semakin masuk dalam kegelapan yang tidak ada setitik pun
sinar di sana.
Kita tidak dapat
mengandaikan hati kita sendiri, karena hati kita terlalu licik (Yer. 17:9).
Kita tidak dapat mengandalkan kekuatan fisik kita. Lengan yang paling berotot
pun akan gagal sama sekali tatkala diserang kematian dan penyakit. Kaki yang
sekarang berdiri kokoh laksana pilar tembaga segera akan tampak aslinya, pilar
cetakan tanah liat yang rapuh. Kita tidak dapat mengandalkan
keunggulan-keunggulan alami kita yang adalah pinjaman, semua ini adalah
kesia-siaan. Tidak ada juga hal-hal di luar diri kita yang dapat kita andalkan,
selain Allah. Mengandalkan apa pun yang merupakan bagian dari alam ciptaan
ibarat memberi diri makan kerikil. Kita tidak boleh mengandalkan kekayaan yang
melimpah, sekalipun dalam aliran paling lancar dan limpah, kekayaan adalah hal
yang paling tidak menentu dan tidak akan berfaedah pada hari penghakiman. Harta
kekayaan apapun tidak memiliki nilai yang stabil. Nilainya bisa berubah
kapanpun. Harta kekayaan bisa hilang, entah karena diambil pencuri atau karena
bencana seperti kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya. Harta kekayaan
berapapun banyaknya dan sebesar apapun nilainya tetap adalah benda mati. Dan
itu bisa dicari, bisa dibeli. Karena itu jika kita percaya pada harta kekayaan
untuk hidup maka kita akan sia-sia.
Orang yang mengandalkan
kekayaan tidak pernah dapat mengharapkan warisan pusaka di sorga. Lebih muIah
seekor unta masuk lubang jarum daripada seorang kaya memasuki gerbang kemuliaan
sorga. Demikian juga jika mengandalkan manusia, yang tidak lain adalah buluh
yang patah. Manusia hanyalah debu dan harapan-harapan kita lenyap bersama kematian.
Ah, tetapi orang kudus mendapatkan dasar fondasi kokoh dengan mengandalkan
Allah! Semua yang kita temukan di dalam Allah akan mengajarkan kepada kita
untuk menempatkan kepercayaan kita di dalam Dia saja. Percayalah kepada Allah. Allah
kita adalah tempat kita bersandar dengan aman. Karena itu Yesaya mendorong atau
memerintahkan bahwa percaya pada Tuhan adalah selama-lamanya bukan hanya dalam
situasi tertentu saja tetapi dalam setiap musim hidup kita. Percayalah pada
Tuhan bukan hanya sesaat atau sementara, tetapi selama-lamanya. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar