Kisah kehidupan Adoniram Judson, yang hidup antara tahun 1788-1850 sangat menggugah dan meneguhkan panggilan hidup kita dalam melayani Tuhan. Adoniram Judson
adalah perintis semangat misionaris di Amerika. Dialah orang pertama dari
Amerika yang menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi misionaris bagi bangsa
asing. Bangsa asing di mana orang-orang sezamannya tidak pernah terpikirkan mau
ke sana. Namun panggilan Tuhan tidak dapat ditolak bagi yang menerimanya.
Anugerah Tuhan atas bangsa Burma (Myanmar) pun mulai pelan-pelan tercurah
melalui Judson.
Judson adalah
anak yang brilian dan suka membaca, seperti yang diajarkan ibunya kepadanya.
Dia banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan sangat menikmati segala hal
yang dia baca. Akibat kebiasaan ini, dia memperoleh nilai tertinggi di Brown
University. Meskipun demikian, orang tuanya tidak tahu bahwa Judson tidak
memiliki iman Kristen yang baik. Judson dididik dalam kekristenan. Namun tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Judson dipengaruhi oleh temannya dan menganut paham
deisme. Suatu paham mengakui adanya Allah, tetapi Allah yang tidak aktif
menopang seluruh ciptaan-Nya. Sampai pada akhirnya paham ini akan membuat
seseorang menolak Alkitab dan tidak percaya kepada Kristus. Keyakinan Judson
pada paham deisme sangat kuat, sehingga pada umur yang ke-20, Judson mengatakan
bahwa dia tidak percaya Kristus dan mau pergi ke New York untuk belajar menulis
teater. Hal ini begitu mengagetkan orang tuanya. Anak yang brilian, anak yang
dididik untuk mencintai Tuhan, ternyata menyembunyikan imannya dan menolak
Kristus.
Ketika Judson
hidup meninggalkan orang tuanya perjalanan hidupnya tak seperti yang dia
rancangkan. Dia merasakan banyak yang sia-sia dalam hidupnya. Dia berpikir, dia
bisa hidup lebih baik di luar kekristenan, tetapi justru yang ia dapatkan
adalah hidup kehilangan arah. Ia berfoya-foya dan hidup dalam keberdosaan,
dimana ketika ada kesempatan untuk menipu Judson pun harus menipu. Dalam
kesulitan hidup yang dialaminya ia pun berupaya pergi mengunjungi pamannya
untuk mencari pertolongan. Di tengah perjalanan, justru dia bertemu seorang
muda yang membuatnya tertarik kepada kekristenan. Ketika di perjalanan tersebut
Judson menghadapi kematian temannya yang tidak kenal Tuhan. Melalui perenungan
akan kematian temannya, dia mulai mengalami pertobatan secara perlahan. Ke
manakah nyawa orang yang sudah meninggal dunia? Anugerah Tuhan terus bekerja di
dalam diri Judson, sampai akhirnya dia mengalami pertobatan yang sejati kepada
Kristus.
Pada tahun 1813,
tepatnya bulan Juli Judson memasuki Burma. Kala itu, Burma merupakan tempat
yang bahaya dan sepenuhnya tempat yang tak terjangkau oleh orang luar. William
Carey pernah menasihati Judson untuk tidak pergi ke Burma, sebab Burma adalah
negara yang terpencil dan tertutup. Nyawa orang yang masuk ke negara itu tidak
terjamin, penuh dengan peperangan, pemberontakan, dan diskriminasi. Hanya ada
dua kemungkinan yang dialami oleh para misionaris yang pergi ke Burma, yaitu meninggal
karena terbunuh atau pergi meninggalkan Burma. Judson tetap memegang teguh
keyakinannya dan bersandar kepada Allah. Umur 24 tahun dia melakukan perjalanan
ke Burma bersama istrinya, Ann yang berumur 23 tahun. Sepasang kekasih ini
melakukan langkah iman yang besar. Mereka naik kapal laut menuju Burma. Di
dalam empat tahun, Ann melahirkan tiga anak, dan semuanya meninggal mulai dari
perjalanan yang panjang di kapal laut ke India sampai di Burma.
Beragam
peristiwa sulit yang mereka alami tak menyurutkan niat dan langkah mereka untuk
pergi memberitakan Injil ke Burma. Dia berpegang penuh pada ajaran kedaulatan
Allah dan terus rindu agar Injil sejati diberitakan di Burma. Apa yang membuat
Judson bertahan di dalam segala kesulitan panggilan misionarisnya adalah
pengenalan-Nya kepada Allah yang berdaulat dan Allah yang baik. Dia menjadi
bibit yang mati, tetapi menghasilkan ratusan ribu jemaat Kristen lainnya di
Burma. Meski benih yang tumbuh ini bukan saja hasil kerja keras Judson, tetapi
ratusan misionaris lain yang sudah menumpahkan darah di tanah Burma. David
Barrett’s World Christian Encyclopedia menuliskan, “The largest Christian
force in Burma is the Burma Baptist Convention, which owes its origin to the
pioneering activity of the American Baptist missionary Adoniram Judson.”
Sekitar 38 tahun,
Judson menjadi missionaris dan tinggal di Burma. Ia menghasilkan sebuah karya,
yaitu terjemahan lengkap Alkitab bahasa Burma dan kamus bahasa yang nantinya
akan digunakan para misionaris selanjutnya di Burma. Dia adalah satu-satunya
misionaris pertama yang benar-benar menguasai bahasa Burma, baik tulisan maupun
ucapan. Hasil taburan benih firman akhirnya dapat dituai oleh Judson. Setelah
melalui pergumulan penyakit, gangguan dari orang-orang yang menolaknya,
kesulitan bahasa, dan lain-lain, Judson melihat hasil jerih lelahnya. Enam
tahun setelah mereka tiba di Burma, mereka membaptis satu petobat baru bernama
Maung Nau. Proses penaburan benih ini begitu panjang dan sulit. Meskipun
panjang dan sulit, hal ini merupakan perjuangan yang indah bersama Tuhan.
Kesulitan demi
kesulitan dilalui oleh pasangan misionaris ini. Ketika mereka tiba di Rangoon,
sebuah pelabuhan di mana pernah terjadi baku tembak dan seluruh orang-orang
Barat dianggap sebagai mata-mata, Judson pun dianggap sebagai mata-mata dan
pada tahun 1824 dia dimasukkan ke dalam penjara. Kakinya dibelenggu sepanjang
harinya dan pada malam hari, sebatang bambu dimasukkan di antara belenggu kaki,
kemudian bambu tersebut ditarik sampai setinggi bahu sehingga kepala tawanan
menempel di tanah. Ketika menderita di penjara, Adoniram berkata kepada tawanan
lain, “It is possible that my life may be spared; if so, with what ardor
and gratitude shall I pursue my work; and if not, His will be done; the door
will be opened for others who will do the work better.”
Istrinya yang
sedang hamil, berjuang terus untuk meyakinkan orang-orang bahwa Judson bukanlah
mata-mata. Selama satu tahun Judson dan istrinya, Ann berjuang untuk bebas dari
penjara. Badan Judson dan Ann mengurus, anak yang dilahirkan Ann menambah
pikiran dan beban Ann. Mereka berdua benar-benar seperti prajurit yang
kehabisan tenaga untuk berperang. Judson menahan kesulitan kehidupan penjara,
Ann berjuang memelihara bayi dan suaminya. Anugerah Tuhan datang tepat pada
waktuya. Tahun 1825, Judson dibebaskan karena pemerintah membutuhkan penerjemah
dalam negosiasi antara Burma dan Inggris. Tujuh belas bulan lamanya penuh
kesulitan hidup di penjara akhirnya berakhir, penjara yang kelam dan
menakutkan. Sayang sekali kondisi Ann memburuk selama 17 bulan tersebut.
Hidupnya dicurahkan demi suami dan anaknya. Sebelas bulan kemudian, tahun 1826,
Ann meninggal dunia. Anaknya juga akhirnya meninggal di tahun 1827. Pada saat
yang bersamaan, Judson mendengar kabar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia
beberapa bulan sebelumnya.
Kesakitan fisik,
ditinggalkan ayah, istri, dan anaknya meninggal membawa Judson ke titik
terendah dalam kerohaniannya. Kegelapan mulai muncul dalam jiwanya. Efek-efek
psikologi muncul, dia mulai ragu dan bertanya-tanya, apakah dia menjadi
misionaris karena ambisi ataupun karena nama?
Pelan-pelan
untuk memurnikan motivasi misionarisnya, dia mulai meninggalkan pekerjaan
penerjemahan Perjanjian Lama, menjauh dari orang-orang dan segala hal yang
mendukung kesombongannya. Dia tidak makan, dia menghancurkan semua surat
penghargaannya. Dia memberikan semua kekayaannya (6.000 dolar) kepada Dewan
Pengurus Baptis. Dia minta gajinya dikurangi dan memohon untuk lebih banyak
diberikan kepada misi. Pada tahun 1828, dia membuat gubuk kecil, dan
benar-benar terisolasi.
Di tengah
keterpurukannya dia menuliskan, “God is to me the Great Unknown. I believe
in Him, but I find Him not.” Selanjutnya pada tahun 1829, Judson
mendapatkan kabar bahwa saudara kandungnya meninggal dunia pada umur 35 tahun.
Seharusnya Judson semakin terpuruk, tetapi ironisnya, justru peristiwa ini
merupakan titik pemulihan dalam hidup Judson. Judson meninggalkan saudara
kandungnya selama 17 tahun dalam keadaan belum percaya. Namun, dia sadar bahwa
ketika saudara kandungnya meninggal, dia meninggal dalam iman kepada Kristus.
Kabar inilah yang menjadikan Judson kembali kokoh. Waktunya sudah tiba, Judson
kembali melayani Tuhan.
Waktu Tuhan
telah tiba, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Tuhan ingin Judson kembali
melayani-Nya sebagai misionaris yang berbuah. Pada saat yang ditentukan Tuhan,
Judson mengalami kekayaan rohani yang melimpah. Semangat hidup dan melayani
kembali meningkat. Setelah delapan tahun Ann meninggal, dia menikah dengan
Sarah Boardman dan mereka memiliki delapan anak. Sarah adalah seorang penolong
yang pandai berbahasa. Setelah kembali melayani Tuhan, sebelas tahun kemudian
Sarah sakit dan perlu berlayar kembali ke Amerika bersama dengan tiga anak-anak
mereka yang tertua. Judson sudah 33 tahun tidak kembali ke Amerika, dan dia
kembali demi kesehatan istrinya. Akan tetapi, dalam perjalanan kembali dari
Amerika, Sarah meninggal, dan Judson menguburkan istrinya di Afrika.
Pengalaman kedua
Judson kehilangan istri yang dikasihinya, tetapi pengalaman ini tidak lagi
membuatnya goyah. Dia sudah belajar bagaimana membenci kehidupan di dunia ini
tanpa kepahitan atau depresi. Dia hanya mempunyai satu hasrat dalam hatinya
yaitu kembali ke Burma dan memberikan hidupnya untuk Burma. Pada tahun 1846,
untuk kali ketiga, Judson jatuh cinta pada seorang wanita yaitu Emily Chubbuck.
Emily saat itu berumur 29 tahun dan Judson 57 tahun. Emily merupakan seorang
penulis terkenal dan dia meninggalkan kariernya demi pergi melayani di Burma
bersama Judson.
Judson mengalami
sakit keras. Satu-satunya harapan adalah mengirimkan Judson untuk pergi
berlayar menjauh dari tempat itu. Dalam perjalanannya dia terus mengalami
kesakitan dari waktu ke waktu. Di dalam kesakitannya dia berkata, “How few
there are who suffer such great torment who die so hard!” Judson meninggal
dunia setelah mengeluarkan kalimat tersebut, dia dikuburkan di gereja Burma.
Sepuluh hari setelah kematiannya, Emily melahirkan anak kedua mereka. Namun
tragisnya, anak keduanya meninggal saat proses kelahiran. Empat bulan kemudian,
barulah Emily tahu bahwa suaminya telah tiada. Dia kembali ke New England, tiga
tahun kemudian dia juga meninggal dunia karena tuberkulosis.
Melalui kisah
hidup Judson, menyadaringatkan kita bagaimana hidup tanpa Kristus dan bagaimana
kesetiaannya dalam melayani Tuhan. Panggilan Allah bagi orang yang
diperkenanNya begitu kokoh. Dan mereka yang diperkenan Allah untuk menjadi alat
ditanganNya akan teguh dalam melayani-Nya. Kristus telah mati bagi kita, adakah
kita memiliki cinta kasih yang tulus, murni dan setia kepada-Nya. Selamat
merenungkan akan kematian Kristus di Jumaat Agung 2017. Tuhan Yesus memberkati.
Amin. (dbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar