Selasa, 11 April 2017

DITUNTUN PADA PERTOBATAN MELALUI KEMATIAN


Merenung akan kesengasaraan Tuhan Yesus yang berjalan menuju Golgota, bukit tempat dimana Dia akan disalibkan. Kita dengan mudah menceritakan dengan beragam emosi yang dapat dipakai untuk menjadikan kisah penderitaan Kristus menjadi kisah yang hidup, namun hal penting untuk direnungkan, bahwa betapa tidak mudah untuk masuk dan merasakan apalagi melakoni secara nyata apa yang telah Yesus alami dan jalani. Manusia berupaya untuk menghidar dari yang namanya derita dan sengsara, apa lagi dengan dalih bahwa sekarang sudah serba mudah dan instan. untuk apa lagi masuk dalam hidup yang menderita. Kristus telah menderita, disalibkan, mati, dikubur, bangkit dan telah naik ke Surga. Kasih yang mulia dan agung dalam diri Kristus kepada mereka yang dikasihi-Nya telah membuat Dia rela menderita.
Kisah kehidupan Adoniram Judson, yang hidup antara tahun 1788-1850 sangat menggugah dan meneguhkan panggilan hidup kita dalam melayani Tuhan. Adoniram Judson adalah perintis semangat misionaris di Amerika. Dialah orang pertama dari Amerika yang menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi misionaris bagi bangsa asing. Bangsa asing di mana orang-orang sezamannya tidak pernah terpikirkan mau ke sana. Namun panggilan Tuhan tidak dapat ditolak bagi yang menerimanya. Anugerah Tuhan atas bangsa Burma (Myanmar) pun mulai pelan-pelan tercurah melalui Judson.
Judson adalah anak yang brilian dan suka membaca, seperti yang diajarkan ibunya kepadanya. Dia banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan sangat menikmati segala hal yang dia baca. Akibat kebiasaan ini, dia memperoleh nilai tertinggi di Brown University. Meskipun demikian, orang tuanya tidak tahu bahwa Judson tidak memiliki iman Kristen yang baik. Judson dididik dalam kekristenan. Namun tanpa sepengetahuan orang tuanya, Judson dipengaruhi oleh temannya dan menganut paham deisme. Suatu paham mengakui adanya Allah, tetapi Allah yang tidak aktif menopang seluruh ciptaan-Nya. Sampai pada akhirnya paham ini akan membuat seseorang menolak Alkitab dan tidak percaya kepada Kristus. Keyakinan Judson pada paham deisme sangat kuat, sehingga pada umur yang ke-20, Judson mengatakan bahwa dia tidak percaya Kristus dan mau pergi ke New York untuk belajar menulis teater. Hal ini begitu mengagetkan orang tuanya. Anak yang brilian, anak yang dididik untuk mencintai Tuhan, ternyata menyembunyikan imannya dan menolak Kristus.
Ketika Judson hidup meninggalkan orang tuanya perjalanan hidupnya tak seperti yang dia rancangkan. Dia merasakan banyak yang sia-sia dalam hidupnya. Dia berpikir, dia bisa hidup lebih baik di luar kekristenan, tetapi justru yang ia dapatkan adalah hidup kehilangan arah. Ia berfoya-foya dan hidup dalam keberdosaan, dimana ketika ada kesempatan untuk menipu Judson pun harus menipu. Dalam kesulitan hidup yang dialaminya ia pun berupaya pergi mengunjungi pamannya untuk mencari pertolongan. Di tengah perjalanan, justru dia bertemu seorang muda yang membuatnya tertarik kepada kekristenan. Ketika di perjalanan tersebut Judson menghadapi kematian temannya yang tidak kenal Tuhan. Melalui perenungan akan kematian temannya, dia mulai mengalami pertobatan secara perlahan. Ke manakah nyawa orang yang sudah meninggal dunia? Anugerah Tuhan terus bekerja di dalam diri Judson, sampai akhirnya dia mengalami pertobatan yang sejati kepada Kristus.
Pada tahun 1813, tepatnya bulan Juli Judson memasuki Burma. Kala itu, Burma merupakan tempat yang bahaya dan sepenuhnya tempat yang tak terjangkau oleh orang luar. William Carey pernah menasihati Judson untuk tidak pergi ke Burma, sebab Burma adalah negara yang terpencil dan tertutup. Nyawa orang yang masuk ke negara itu tidak terjamin, penuh dengan peperangan, pemberontakan, dan diskriminasi. Hanya ada dua kemungkinan yang dialami oleh para misionaris yang pergi ke Burma, yaitu meninggal karena terbunuh atau pergi meninggalkan Burma. Judson tetap memegang teguh keyakinannya dan bersandar kepada Allah. Umur 24 tahun dia melakukan perjalanan ke Burma bersama istrinya, Ann yang berumur 23 tahun. Sepasang kekasih ini melakukan langkah iman yang besar. Mereka naik kapal laut menuju Burma. Di dalam empat tahun, Ann melahirkan tiga anak, dan semuanya meninggal mulai dari perjalanan yang panjang di kapal laut ke India sampai di Burma.
Beragam peristiwa sulit yang mereka alami tak menyurutkan niat dan langkah mereka untuk pergi memberitakan Injil ke Burma. Dia berpegang penuh pada ajaran kedaulatan Allah dan terus rindu agar Injil sejati diberitakan di Burma. Apa yang membuat Judson bertahan di dalam segala kesulitan panggilan misionarisnya adalah pengenalan-Nya kepada Allah yang berdaulat dan Allah yang baik. Dia menjadi bibit yang mati, tetapi menghasilkan ratusan ribu jemaat Kristen lainnya di Burma. Meski benih yang tumbuh ini bukan saja hasil kerja keras Judson, tetapi ratusan misionaris lain yang sudah menumpahkan darah di tanah Burma. David Barrett’s World Christian Encyclopedia menuliskan, “The largest Christian force in Burma is the Burma Baptist Convention, which owes its origin to the pioneering activity of the American Baptist missionary Adoniram Judson.”
Sekitar 38 tahun, Judson menjadi missionaris dan tinggal di Burma. Ia menghasilkan sebuah karya, yaitu terjemahan lengkap Alkitab bahasa Burma dan kamus bahasa yang nantinya akan digunakan para misionaris selanjutnya di Burma. Dia adalah satu-satunya misionaris pertama yang benar-benar menguasai bahasa Burma, baik tulisan maupun ucapan. Hasil taburan benih firman akhirnya dapat dituai oleh Judson. Setelah melalui pergumulan penyakit, gangguan dari orang-orang yang menolaknya, kesulitan bahasa, dan lain-lain, Judson melihat hasil jerih lelahnya. Enam tahun setelah mereka tiba di Burma, mereka membaptis satu petobat baru bernama Maung Nau. Proses penaburan benih ini begitu panjang dan sulit. Meskipun panjang dan sulit, hal ini merupakan perjuangan yang indah bersama Tuhan.
Kesulitan demi kesulitan dilalui oleh pasangan misionaris ini. Ketika mereka tiba di Rangoon, sebuah pelabuhan di mana pernah terjadi baku tembak dan seluruh orang-orang Barat dianggap sebagai mata-mata, Judson pun dianggap sebagai mata-mata dan pada tahun 1824 dia dimasukkan ke dalam penjara. Kakinya dibelenggu sepanjang harinya dan pada malam hari, sebatang bambu dimasukkan di antara belenggu kaki, kemudian bambu tersebut ditarik sampai setinggi bahu sehingga kepala tawanan menempel di tanah. Ketika menderita di penjara, Adoniram berkata kepada tawanan lain, “It is possible that my life may be spared; if so, with what ardor and gratitude shall I pursue my work; and if not, His will be done; the door will be opened for others who will do the work better.”
Istrinya yang sedang hamil, berjuang terus untuk meyakinkan orang-orang bahwa Judson bukanlah mata-mata. Selama satu tahun Judson dan istrinya, Ann berjuang untuk bebas dari penjara. Badan Judson dan Ann mengurus, anak yang dilahirkan Ann menambah pikiran dan beban Ann. Mereka berdua benar-benar seperti prajurit yang kehabisan tenaga untuk berperang. Judson menahan kesulitan kehidupan penjara, Ann berjuang memelihara bayi dan suaminya. Anugerah Tuhan datang tepat pada waktuya. Tahun 1825, Judson dibebaskan karena pemerintah membutuhkan penerjemah dalam negosiasi antara Burma dan Inggris. Tujuh belas bulan lamanya penuh kesulitan hidup di penjara akhirnya berakhir, penjara yang kelam dan menakutkan. Sayang sekali kondisi Ann memburuk selama 17 bulan tersebut. Hidupnya dicurahkan demi suami dan anaknya. Sebelas bulan kemudian, tahun 1826, Ann meninggal dunia. Anaknya juga akhirnya meninggal di tahun 1827. Pada saat yang bersamaan, Judson mendengar kabar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya.
Kesakitan fisik, ditinggalkan ayah, istri, dan anaknya meninggal membawa Judson ke titik terendah dalam kerohaniannya. Kegelapan mulai muncul dalam jiwanya. Efek-efek psikologi muncul, dia mulai ragu dan bertanya-tanya, apakah dia menjadi misionaris karena ambisi ataupun karena nama?
Pelan-pelan untuk memurnikan motivasi misionarisnya, dia mulai meninggalkan pekerjaan penerjemahan Perjanjian Lama, menjauh dari orang-orang dan segala hal yang mendukung kesombongannya. Dia tidak makan, dia menghancurkan semua surat penghargaannya. Dia memberikan semua kekayaannya (6.000 dolar) kepada Dewan Pengurus Baptis. Dia minta gajinya dikurangi dan memohon untuk lebih banyak diberikan kepada misi. Pada tahun 1828, dia membuat gubuk kecil, dan benar-benar terisolasi.
Di tengah keterpurukannya dia menuliskan, “God is to me the Great Unknown. I believe in Him, but I find Him not.” Selanjutnya pada tahun 1829, Judson mendapatkan kabar bahwa saudara kandungnya meninggal dunia pada umur 35 tahun. Seharusnya Judson semakin terpuruk, tetapi ironisnya, justru peristiwa ini merupakan titik pemulihan dalam hidup Judson. Judson meninggalkan saudara kandungnya selama 17 tahun dalam keadaan belum percaya. Namun, dia sadar bahwa ketika saudara kandungnya meninggal, dia meninggal dalam iman kepada Kristus. Kabar inilah yang menjadikan Judson kembali kokoh. Waktunya sudah tiba, Judson kembali melayani Tuhan.
Waktu Tuhan telah tiba, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Tuhan ingin Judson kembali melayani-Nya sebagai misionaris yang berbuah. Pada saat yang ditentukan Tuhan, Judson mengalami kekayaan rohani yang melimpah. Semangat hidup dan melayani kembali meningkat. Setelah delapan tahun Ann meninggal, dia menikah dengan Sarah Boardman dan mereka memiliki delapan anak. Sarah adalah seorang penolong yang pandai berbahasa. Setelah kembali melayani Tuhan, sebelas tahun kemudian Sarah sakit dan perlu berlayar kembali ke Amerika bersama dengan tiga anak-anak mereka yang tertua. Judson sudah 33 tahun tidak kembali ke Amerika, dan dia kembali demi kesehatan istrinya. Akan tetapi, dalam perjalanan kembali dari Amerika, Sarah meninggal, dan Judson menguburkan istrinya di Afrika.
Pengalaman kedua Judson kehilangan istri yang dikasihinya, tetapi pengalaman ini tidak lagi membuatnya goyah. Dia sudah belajar bagaimana membenci kehidupan di dunia ini tanpa kepahitan atau depresi. Dia hanya mempunyai satu hasrat dalam hatinya yaitu kembali ke Burma dan memberikan hidupnya untuk Burma. Pada tahun 1846, untuk kali ketiga, Judson jatuh cinta pada seorang wanita yaitu Emily Chubbuck. Emily saat itu berumur 29 tahun dan Judson 57 tahun. Emily merupakan seorang penulis terkenal dan dia meninggalkan kariernya demi pergi melayani di Burma bersama Judson.
Judson mengalami sakit keras. Satu-satunya harapan adalah mengirimkan Judson untuk pergi berlayar menjauh dari tempat itu. Dalam perjalanannya dia terus mengalami kesakitan dari waktu ke waktu. Di dalam kesakitannya dia berkata, “How few there are who suffer such great torment who die so hard!” Judson meninggal dunia setelah mengeluarkan kalimat tersebut, dia dikuburkan di gereja Burma. Sepuluh hari setelah kematiannya, Emily melahirkan anak kedua mereka. Namun tragisnya, anak keduanya meninggal saat proses kelahiran. Empat bulan kemudian, barulah Emily tahu bahwa suaminya telah tiada. Dia kembali ke New England, tiga tahun kemudian dia juga meninggal dunia karena tuberkulosis.
Melalui kisah hidup Judson, menyadaringatkan kita bagaimana hidup tanpa Kristus dan bagaimana kesetiaannya dalam melayani Tuhan. Panggilan Allah bagi orang yang diperkenanNya begitu kokoh. Dan mereka yang diperkenan Allah untuk menjadi alat ditanganNya akan teguh dalam melayani-Nya. Kristus telah mati bagi kita, adakah kita memiliki cinta kasih yang tulus, murni dan setia kepada-Nya. Selamat merenungkan akan kematian Kristus di Jumaat Agung 2017. Tuhan Yesus memberkati. Amin. (dbs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERUSAHALAH, JANGAN MENYERAH

  Berusahalah, Jangan Menyerah Salah satu tanda kehidupan adalah adanya usaha dan perjuangan. Sebatang pohon yang hidup maka akarnya akan te...