Membaca kisah perjalanan kehidupan Jonathan Edwards
memang memberi pencerahan dan kekuatan bagi mereka yang mampu menangkap kisah
tersebut dengan baik. Kisah perjalanan hidup keberimanan salah seorang tokoh pembaharuan
atau yang juga dikenal dengan tokoh kebangunan rohani ini menarik untuk
dipelajari karena kisah tersebut bukan bagaimana dia menceritakan tentang siapa
dan bagaimana dirinya, tetapi bagaimana orang lain menuturkan tentang dia.
Misalnya, D. Martyn Lloyd-Jones (1899-1981), seorang pendeta dan theolog yang
sangat berpengaruh, melukiskan Jonathan Edwards. “Saya tergoda, mungkin bodoh,
untuk menyamakan kaum Puritan dengan pegunungan Alpen, Luther, dan
Calvin dengan pegunungan Himalaya, dan Jonathan Edwards dengan puncak Everest!
Bagiku, ia selalu tampak sebagai sosok yang paling mirip dengan Rasul Paulus,”
demikian deskripsi dari pena Llyod-Jones sendiri. Walaupun mungkin kita akan
mengatakan atau menganggap Llyod terlalu berlebihan, tapi itulah gambaran
seorang Edwards bagi seorang Llyod.
Seorang tokoh lain bernama Samuel Hopkins (1721-1803),
seorang pendeta dan theolog yang belajar theologi di bawah bimbingan Jonathan
Edwards, mengatakan, “Presiden Edwards, dimana Edwards pernah menjadi Presiden
dari Princeton University, adalah salah satu dari orang-orang yang terbesar,
terbaik, dan paling berguna pada masa ini. Ada alasan untuk berharap walaupun
ia sudah tiada, ia akan tetap terus berbicara untuk masa-masa yang akan datang,
untuk manfaat yang besar bagi Gereja Kristus, dan kesejahteraan abadi bagi
banyak jiwa dan tulisan-tulisan beliau akan menghasilkan panen kebahagiaan yang
lebih besar lagi bagi manusia dan kemuliaan bagi Tuhan pada hari Tuhan.” Banyak
tulisan Edwards yang dicetak, dijual, disediakan secara online dan
disimpan di perpustakaan sampai detik ini, menandakan bahwa kutipan di atas
sudah menjadi kenyataan.
Karena itu, melalui kisah hidup tokoh, Edwards ini,
dimana kehidupan dan pemikiran Edwards akan “berbicara” dan mencerahkan kita
sebagai orang percaya yang hidup saat ini, untuk semakin melihat dan menikmati
kemuliaan Tuhan.
Jonathan Edwards adalah seorang pendeta dan theolog
yang pemikirannya sangat luas. Ia membahas banyak topik, dari hal yang
spiritual seperti kemuliaan Tuhan, sampai pada kehidupan sehari-hari seperti
olahraga. Namun, yang membuat saya sangat tertarik kepadanya adalah
kehidupannya. Ia memiliki kehidupan yang menghidupi Alkitab. Ya, sekali lagi:
Ia benar-benar berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghidupi firman Tuhan di
dalam hidupnya yang singkat. Karena itu, maka tulisan tentang bagian-bagian
kisah kehidupan Edwards akan ditulis secara berseri. Sehingga kita dapat
melihat cuplikan dari perjalanan hidup Jonathan Edwards dan sesekali berhenti
sejenak untuk merenungkan apa sih yang bisa kita petik dari masa-masa
itu.
Point pertama yang bisa kita dapatkan dan renungkan
adalah adanya sebuah perasaan yang baru dalam diri Edwards. Seorang Amerika
yang dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1703 ini sudah memperoleh pendidikan Alkitab
dan theologi Reformed sejak kecil. Hal tersebut memungkinkan karena sang ayah,
Timothy Edwards, adalah seorang pendeta. Steven J. Lawson, dalam bukunya yang
berjudul The Unwavering Resolve of Jonathan Edwards, menuliskan bahwa
Timothy mempersiapkan Jonathan muda untuk pelayanan dengan mengajarkan dia
Alkitab, Katekismus Singkat Westminster, dan theologi Reformed. Melalui
ayahnya, ia juga melihat secara langsung kehidupan Kristen dan tanggung jawab
serta upah dari pelayanan sebagai pendeta. Selain itu, peran sang ibu, Esther
Stoddard, juga sangatlah penting. Hal ini tercermin dari tulisan Stephen J.
Nichols dalam bukunya yang berjudul Jonathan Edwards: A Guide Tour of His
Life and Thought. Nichols mengatakan, “Sebagai tambahan, Jonathan belajar
Alkitab, katekismus, kekayaan warisan kaum Puritan, dan iman Reformed
dari ayahnya dan ibunya.”
Edwards bukan hanya diperkenalkan, tetapi juga telah
“dilatih” kekristenan sejak kecil? Latihan yang disiplin dan terus-menerus itu
ternyata tidak membuat Edwards otomatis bertobat dan menerima Yesus sebagai
Juruselamatnya. Edwards baru benar-benar bertobat pada waktu ia berumur tujuh
belas tahun, saat menyelesaikan program magisternya di Yale University.
Pertobatannya kepada Yesus Kristus yang tiba-tiba ini
terjadi pada waktu ia sedang merenungkan 1 Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan
sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak
nampak, yang esa! Amin.” Berikut adalah kata-kata Edwards sendiri mengenai
pertobatannya, “Datang ke dalam jiwaku, dan seolah-olah disebarkan melalui itu,
sebuah rasa kemuliaan Sang Ilahi; sebuah perasaan yang baru, yang sangat
berbeda dari apa pun yang pernah kurasakan sebelumnya.” Bertahun-tahun
kemudian, Edwards merenungkan kembali pertobatannya di masa muda dan memberikan
gambaran lebih lanjut sebagai berikut, “Aku pada waktu itu mulai memiliki suatu
jenis pengertian dan gambaran-gambaran baru tentang Kristus, dan karya
penebusan, dan jalan keselamatan melalui-Nya yang sungguh mulia. Sebuah
perasaan yang mendalam, perasaan yang manis tentang hal-hal ini, kadang-kadang,
masuk ke dalam hatiku; dan jiwaku dibawa pergi pada gambaran-gambaran yang
menyenangkan dan perenungan akan hal-hal tersebut. Dan pikiranku sangat
dipenuhi untuk menghabiskan waktu dalam pembacaan dan perenungan tentang
Kristus, tentang keindahan dan kemuliaan pribadi-Nya, dan jalan keselamatan
oleh kasih karunia yang cuma-cuma di dalam diri-Nya yang begitu indah.”
Pernahkah kita menyadari arti pentingnya dalam
mengajarkan anak-anak kebenarana Alkitab dari sejak dini. Baik dalam konteks
sebagai keluarga Kristen maupun dalam konteks gereja dalam mengajar dan
melayani anak sekolah Minggu. Edwards salah seorang yang beruntung memiliki
ayah dan ibu yang hidup dalam takut akan Tuhan. Mengajarkan kebenaran Alkitab
tidak harus dengan menjadi seorang pendeta. Mengajakan kebenaran Alkitab adalah
tanggung jawab setiap orang percaya yang telah ditebus oleh Kristus, Tuhan.
Ketika orang diajarkan kebenaran belum tentu seketika itu mereka akan hidup
seperti yang diajarkan pada mereka. Tetapi dengan mengajarkan kebenaran maka
pengajar telah menanamkan konsep dan nilai yang benar bagi mereka yang
diajarkan. Bagian kita adalah mengajar, mendoakan dan hidup dalam ajaran yang
benar itu, selanjutnya kiranya Allah yang memberikan pertumbuhan bagi mereka
yang diajar. Selanjutnya, pernahkah kita merasakan perasaan seperti yang Edwards rasakan, suatu “perasaan yang
baru, yang berbeda, yang mendalam, yang menyenangkan, yang manis” tentang
Kristus dan karya penebusan-Nya. Pernahkan kita sungguh-sungguh berterima kasih
kepada Tuhan atas jalan keselamatan “oleh kasih karunia, melalui iman” yang
sudah Ia hadiahkan kepada kita? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin.